Pertempuran Lima Hari Lima Malam

Sejarah Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang

Posted on

Tanggal 1 Januari 1947 menjadi awal dimulainya “Pertempuran Lima Hari Lima Malam” di Palembang yang melibatkan Tentara Republik Indonesia (TRI) melawan serangan pasukan tentara Belanda, Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Sesuai dengan namanya, perlawanan TRI terhadap NICA itu terjadi selama lima hari berturut-turut, terhitung sejak tanggal 1 s.d 5 Januari 1947. Konflik tersebut berawal saat Belanda yang menginginkan Kota Palembang untuk segera dikosongkan.

Namun sayangnya, keinginan Belanda itu mendapatkan penolakan dari seluruh rakyat Palembang hingga menyebabkan terjadinya baku tembak pada 1 Januari 1947. Setelah lima hari berturut-turut bertempur, pertempuran di antara keduanya berakhir dengan adanya gencatan senjata yang berlaku pada 6 Januari 1947.

Lantas, apa yang menjadi latar belakang terjadinya Pertempuran Lima Hari Palembang itu?

Setelah meredanya Perang Dunia II, tentara sekutu pun mulai melakukan ekspansi ke berbagai wilayah bekas jajahan tentara Jepang di Indonesia, termasuk salah satu diantaranya adalah Palembang.

Di bawah komando Letnan Jenderal Carmichael bersama pasukan tentara Belanda (NICA), pihak sekutu berhasil melakukan ekspansi ke Palembang dicapai pada 12 Oktober 1945. Di sisi lain, pasukan sekutu ini juga melindungi kedatangan tentara Belanda yang semakin hari jumlah pasukannya semakin bertambah banyak.

Terlebih lagi ketika sekutu meninggalkan Palembang pada Maret 1946-an, mereka menyerahkan kedudukannya di Kota Palembang kepada tentara Belanda. Sementara itu, konflik awal terjadinya pertempuran, yakni ketika Belanda menginginkan agar Kota Palembang bisa dikosongkan dengan segera.

Alasan Belanda ingin menguasai Palembang, dikarenakan daerahnya merupakan salah satu wilayah strategis Indonesia. Selain itu, Palembang juga kaya akan sumber daya alam dan berpotensi sebagai pusat pemerintahan, kekuatan militer, dan kegiatan politik maupun ekonomi.

Namun sayangnya permintaan tersebut ditolak oleh seluruh rakyat Palembang, sehingga berakhir dengan baku tembak yang terjadi di Palembang Ilir pada 1 Januari 1947-an. Pasukan Belanda menyerang markas Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) di Jalan Tengkuruk.

Sejumlah tokoh penting dari pihak tentara dan pejuang Indonesia pun memimpin jalannya pertempuran. Mereka diantaranya, Kolonel Maludin Simbolon, Letnan Kolonel Bambang Utoyo, Mayor Rasyad Nawawi, dan Kapten Alamsyah.

Di hari pertama setelah menyerang BPRI, para pejuang Palembang pun menyerbu dan mengepung pusat pertahanan Belanda yang ada di Benteng Kuto Besak, RS Charitas, dan Bagus Kuning (Plaju). Sedangkan pejuang Palembang, tersebar secara merata di setiap tempat pertahanan Belanda.

Pertempuran di hari pertama itu pun berakhir pada pukul 17.00 WIB sore. Akan tetapi menjelang malam hari, pasukan Belanda kembali menyerang dengan menggunakan senjata lapis baja. Serangan tersebut mengakibatkan hancurnya beberapa tempat strategis yang dikuasai oleh Belanda, seperti kantor residen, kantor walikota, dan kantor pos.

Di hari kedua dan ketiga pertempuran, Belanda kembali melakukan penyerbuan ke pusat pertahanan tentara di area Masjid Agung Palembang. Namun serangan mereka berhasil digagalkan oleh Pasukan Batalyon Geni bersama dengan sejumlah tokoh masyarakat.

Sementara dari arah Talang Betutu, pasukan bantuan Belanda yang hendak bergabung ke dalam Masjid Agung juga berhasil disergap oleh pejuang Palembang yang dipimpin oleh Lettu Wahid Luddien.

Di hari keempat, bala bantuan untuk pejuang Palembang yang dipimpin Komando Mayor Noerdin Pandji dari Lampung dan Letjen Harun Sohar dari Lahat tiba. Selanjutnya menjelang hari kelima, setelah kekurangan pasokan logistik dan amunisi, kedua belah pihak memutuskan untuk bertemu dan keduanya memilih melakukan gencatan senjata.

Kala itu, Indonesia mengirim Dr Adnan Kapau Gani sebagai utusan pemerintah pusat untuk berunding dengan Belanda. Hasil perundingan pun menyepakati bahwa pihak Indonesia, pasukan TRI, dan pejuang lainnya akan mundur sejauh 20 km dari pusat kota dan hanya menyisakan ALRI.

Sedangkan untuk polisi dan pemerintahan sipil, tetap berada di Palembang. Selanjutnya dari pihak Belanda, batas-batas pos mereka hanya boleh berdiri sejauh 14 km dari pusat kota. Diketahui gencatan senjata yang dilakukan keduanya dimulai sejak 6 Januari 1947-an.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *