Insiden Penembakan Timika 1996 mencatat sebuah kejadian tragis yang terjadi di Bandar Udara Timika, Irian Jaya (kini Provinsi Papua) pada tanggal 15 April 1996.
Pelaku penembakan adalah seorang anggota Kopassus bernama Letda Inf. Sanurip. Insiden ini mengakibatkan kematian 16 orang dan melukai 11 lainnya.
Pada pagi hari tanggal 15 April 1996, Letda Inf. Sanurip, seorang anggota Kopassus berusia 36 tahun, yang bertugas dalam sebuah operasi militer untuk membebaskan 11 sandera yang ditahan oleh Organisasi Papua Merdeka, tiba-tiba membuka tembakan dengan senjata otomatis.
Letda Inf. Sanurip pun tanpa pandang bulu melepaskan serangkaian tembakan kepada orang-orang yang berada di sekitar hanggar pesawat yang dioperasikan oleh tentara.
Dalam serangkaian tembak-menembak tersebut, Sanurip berhasil menewaskan total 16 orang, termasuk 3 perwira Kopassus, 8 perwira ABRI, dan 5 warga sipil, di antaranya adalah pilot Airfast Michael Findlay dari Selandia Baru.
Sebanyak 11 orang juga terluka dalam insiden tersebut sebelum Sanurip sendiri terluka di kaki dan berhasil dilumpuhkan oleh tentara.
Dugaan awal menyebutkan bahwa penembakan tersebut dipicu oleh kedatangan transporter tentara yang membawa dua jenazah tentara yang tewas. Ada laporan yang menyatakan bahwa kedua tentara tersebut dibunuh oleh anggota OPM selama operasi penyelamatan atau bahkan dibacok oleh penduduk desa yang menuduh mereka melakukan pemerkosaan terhadap dua wanita.
Sanurip mungkin terpicu untuk menembak karena salah satu dari kedua tentara tersebut adalah temannya. Namun, ada juga laporan yang mencatat bahwa Letnan Sanurip mengalami depresi atau malaria pada saat kejadian, yang bisa jadi memengaruhi
Laporan yang berbeda menyatakan bahwa kedua tentara itu entah dibunuh oleh anggota OPM selama operasi penyelamatan sandera atau dibacok sampai mati oleh penduduk desa yang menuduh mereka melakukan pemerkosaan terhadap dua wanita.
Letnan Sanurip menyadari bahwa salah satu dari kedua tentara itu adalah temannya, yang kemungkinan memicu reaksi penembakan tersebut. Namun, terdapat laporan lain yang menyebutkan bahwa Letnan Sanurip sedang menderita depresi atau malaria saat insiden itu terjadi, yang mungkin menjadi pemicu perilakunya.
Setelah insiden tersebut, pada 23 April 1997, Letda Sanurip dijatuhi hukuman mati sebagai akibat dari perbuatannya. Insiden ini menjadi salah satu peristiwa tragis dalam sejarah Papua dan menunjukkan kompleksitas situasi keamanan serta tantangan yang dihadapi oleh aparat keamanan dalam menangani konflik di wilayah tersebut.