Jadi, mari kita ngobrol tentang Kerajaan Kanjuruhan, salah satu kerajaan Hindu-Buddha tertua di Jawa Timur. Era kerajaan ini berlangsung dari awal Masehi hingga abad ke-16, dan banyak prasasti yang ditemukan di Jawa Timur jadi bukti perkembangan peradaban di Nusantara.
Kerajaan Kanjuruhan muncul sekitar akhir abad ke-7 hingga pertengahan abad ke-8. Menariknya, kerajaan ini sejalan dengan Kerajaan Tarumanegara yang ada di Jawa Barat. Salah satu bukti keberadaan Kanjuruhan bisa kita lihat di Prasasti Dinoyo, yang berasal dari tahun 682 Saka atau sekitar 760 Masehi.
Prasasti ini menyebutkan bahwa Raja Kanjuruhan yang paling terkenal adalah Gajayana. Sayangnya, kerajaan ini tidak bertahan lama karena ditaklukkan oleh Mataram. Meski begitu, kita masih bisa melihat peninggalan Kanjuruhan seperti Candi Badut dan Candi Karangbesuki di Malang.
Di masa kejayaannya, Raja Gajayana memimpin dengan bijaksana, dan kekuasaan kerajaannya meliputi lereng timur dan barat Gunung Kawi hingga Pegunungan Tengger Semeru. Setelah Gajayana meninggal, posisinya diambil alih oleh menantunya, Pangeran Jananiya.
Kerajaan Kanjuruhan dikuasai secara turun-temurun oleh raja dari keturunan Raja Dewa Singha, yang dikenal karena kebijaksanaan dan kemurahan hatinya. Karena itu, rakyat Kanjuruhan sangat mencintai para rajanya.
Para ahli sejarah juga menduga bahwa Kanjuruhan punya hubungan erat dengan Kerajaan Kalingga (atau Holing) di Jawa Tengah. Ada berita dari Tiongkok sekitar tahun 742 hingga 755 Masehi yang menyebut Raja Kiyen memindahkan ibu kota Holing ke Jawa Timur.
Kemunculan Kanjuruhan juga tercatat di Prasasti Dinoyo, yang ditulis dalam huruf Kawi dengan bahasa Sanskerta. Di sana, diceritakan bahwa kerajaan ini awalnya diperintah oleh Raja Dewashimha, yang kemudian digantikan oleh putranya, Gajayana. Gajayana dikenal sebagai raja yang adil dan sangat dicintai oleh rakyatnya.
Di bawah kepemimpinan Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat di berbagai bidang—pemerintahan, sosial, ekonomi, dan seni budaya. Wilayah kekuasaannya meliputi Malang, lereng Gunung Kawi, dan bahkan sampai ke pesisir laut Jawa. Selama masa pemerintahannya, tindak kriminal seperti perang dan perampokan jarang terjadi karena raja selalu menegakkan hukum.
Gajayana juga membangun tempat suci untuk memuliakan Resi Agastya dan membuat arca yang indah dari batu hitam. Ia menganugerahkan tanah dan sumber daya untuk mendukung para pendeta yang menjaga tempat suci tersebut.
Setelah Gajayana meninggal, kekuasaan jatuh ke tangan putrinya, Uttajana, yang menikah dengan Pangeran Jananiya. Meskipun begitu, semua raja Kanjuruhan dikenal dengan kebijaksanaan dan kemurahan hati.
Namun, sayangnya, Kerajaan Kanjuruhan tidak bertahan lama. Pada awal abad ke-10, ketika Rakai Watukura dari Mataram Kuno berkuasa, Kanjuruhan jatuh ke kekuasaannya. Para raja Kanjuruhan kemudian menjadi raja bawahan dengan gelar Rakyan Kanuruhan.
Wilayah Kanjuruhan pada masa itu cukup luas, meliputi daerah dari Landungsari di barat hingga Pakis di timur, dan dari Polowijen di utara hingga Turen di selatan. Wilayah ini kemudian jadi cikal bakal Kerajaan Singhasari dan kini menjadi bagian dari Malang raya.
Para ahli sejarah melihat kemunculan Kerajaan Kanjuruhan sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang kini berkembang menjadi Kota Malang. Tahun penemuan prasasti abad ke-7 juga dipakai sebagai hari jadi Kabupaten Malang.
Bahkan, nama Raja Gajayana kini menjadi simbol kemegahan bangunan di Malang, seperti Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang dan Stadion Gajayana di Kota Malang.
Jadi, itulah cerita menarik tentang Kerajaan Kanjuruhan! Dari sejarahnya, kita bisa belajar banyak tentang kebudayaan dan peradaban yang membentuk Indonesia saat ini. Keren, kan?