Hikayat Muasal Teko dan Gelas Blirik

Posted on

Koropak.co.id – Menikmati kudapan di pagi hari dengan gorengan, rokok, koran, dan segelas kopi hitam panas yang diseruput dari gelas loreng hijau putih menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang kerap membawa kita kembali bernostalgia. Tidak jarang, kenikmatan ini juga turut ditemui di tengah obrolan seru dengan kawan sebaya di kedai warung terdekat. 

Apakah kalian masih menemukan fenomena tersebut? Terutama keberadaan si gelas enamel bercorak gelas loreng hijauh putih yang legendaris itu, atau apakah mungkin orang tua kalian masih ada yang menggunakan gelas yang terkenal kuat dan anti karat ini?

Dilansir dari berbagai sumber, ternyata keberadaan teko dan gelas berloreng hijau putih yang diberi nama teko blirik ini memiliki sejarah yang sangat panjang di Indonesia. Dimulai dari sebuah simbol kejayaan kolonialisme Hindia Belanda, kemudian menjadi bentuk perlawanan petani sampai dengan kini justru menjadi ikon dan barang antik yang mulai jarang ditemui.

Keberadaan teko dan gelas blirik ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1830-an atau tahun yang sama pada saat Perang Jawa atau Perang Diponegoro berakhir. Disebut Perang Diponegoro dikarenakan perang melawan Belanda kala itu dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun yakni antara tahun 1825 hingga 1830.

Kala itu, disebutkan bahwa Belanda mulai kewalahan dalam menghadapi peperangan hingga mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu hingga berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Saat itu, Pangeran Diponegoro pun akhirnya menyerahkan diri dengan syarat Belanda akan melepaskan sisa pasukannya yang ditahan oleh Belanda.

Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, konon pasukan kolonial Belanda  menjadi jemawa hingga mulai menyebarluaskan identitas kekuatannya di tanah Jawa. 

Keberadaan teko dan gelas blirik inilah yang menjadi salah satu identitas yang dibawa oleh Belanda kala itu. Agen teko blirik yang pertama kali membawa itu ke Hindia Belanda adalah pedagang asal Belanda kelahiran Belgia bernama Jan Mooijen. 

Dia membuka agen penjualan teko blirik pertamanya pada tahun 1845 dan sejak saat itu penjualan teko blirik mulai menyebar di tanah Jawa hingga banyak orang Belanda yang sengaja membeli teko ini untuk diberikan dan digunakan oleh kalangan buruh petani. 

Teko blirik itu diketahui sengaja dijadikan identitas yang membedakan antara kaum kalangan bawah yaitu buruh orang Nusantara dengan kalangan atas atau bangsawan Belanda yang memiliki banyak buruh. 

Baca : Sejarah Gelas Kaca yang Ditemukan Secara Tak Sengaja

Terlebih lagi kala itu budaya minum teh orang Eropa diadaptasi juga oleh para pekerja buruh tani. Identitas buruh yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda itu pun bertahan hingga tahun 1908-an. 

Diketahui kala itu teko blirik juga turut dijadikan sebagai salah satu ikon dan identitas Hindia Belanda di Pasar Gambir yang memang menjadi salah satu lokasi penyelenggaraan pasar malam pertama di Batavia. 

Pasar Gambir itu juga turut menjadi tempat pemerintah kolonial untuk memperingati penobatan Ratu Wilhemina pada tahun 1898. Sejak saat itu, Pasar Gambir secara tidak langsung dijadikan sebagai pasar malam yang menyediakan berbagai wahana permainan dan kios-kios kecil tempat menjual jajanan, kerajinan tangan, dan yang utamanya adalah teko dan gelas blirik.

Seiring berjalannya waktu, para buruh tani yang menyadari akan penindasan pemerintahan Belanda, Teko blirik pun pada akhirnya dijadikan sebagai simbol perjuangan para buruh tani. Penggunaan teko blirik pun tidak hanya ditemukan dikalangan buruh, melainkan orang-orang yang turut membela kaum buruh tani pun turut ikut menggunakan teko blirik.

Diketahui pada tahun 1921, seperti yang dicatat oleh Soe Hok Gie dalam skripsi yang kemudian dicetak menjadi buku berjudul Di Bawah Lentera Merah, Semarang menjadi kota tolok ukur pergerakan politik Indonesia kala itu. Untuk membela perjualangan masyarakat, teko blirik dan topi caping pun menjadi simbol perjuangan petani, buruh, dan nelayan.

Sejak saat itulah penggunaan teko blirik sudah meluas dan bagi siapapun yang menggunakan teko blirik, artinya mereka turut membela dan menunjukkan keberpihakan serta kepeduliannya kepada masyarakat kaum buruh. 

Terlebih lagi, teko blirik juga memiliki kualitas yang bagus. Terbuat dari seng dan lapisan enamel, teko blirik terkenal awet dan tahan karat meskipun terkena panas.

Hingga pada tahun 1960-an, keberadaan teko blirik masih menjadi primadona dan ikon yang kaya akan makna. Namun seiring dengan masuk produk-produk murah berbahan plastik pada tahun 1990-an, keberadaan teko blirik pun sayangnya sudah mulai jarang ditemui. 

Meski sudah jarang ditemui, teko blirik bermotif lurik ini kini berubah fungsi menjadi pajangan yang estetik. Bahkan tidak jarang, ditemukan juga beberapa kafe kopi justru menyajikan kopinya dengan menggunakan gelas blirik untuk memberi kesan unik dan estetik.*

Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *