Pada tanggal 4 September 1635, terjalinlah sebuah perjanjian dagang yang mengubah sejarah, yakni kontrak dagang antara Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan Kesultanan Banjar.
Kontrak ini tidak hanya berbicara tentang perdagangan lada dan masalah bea cukai, akan tetapi juga menggarisbawahi peran penting VOC dalam membantu Kesultanan Banjarmasin dalam menaklukkan Pasir dan melindungi mereka dari ancaman Mataram.
Namun, tahun 1635 juga menjadi tahun penting dengan kedatangan kapal Pearl Inggris di Banjarmasin, yang dinaungi oleh Tewseling dan Gregory pada tanggal 17 Juni. Inggris, dengan tegas juga meminta izin untuk terlibat dalam perdagangan dan mendirikan loji resmi.
Hal ini tentu saja, menjadi titik perdebatan bahkan ancaman bagi eksistensi VOC di Banjarmasin. Sultan Banjar memberi izin kepada VOC untuk membangun loji, tetapi sikap Sultan terhadap Inggris sangat keras. Hal ini dikarenakan Inggris telah merancang konspirasi dengan orang-orang Makassar untuk menyerang Banjarmasin.
Penolakan Sultan terhadap Inggris tidak sepenuhnya disetujui oleh anggota kerabat istana Banjarmasin, sehingga terjadi ketegangan internal. Sejumlah anggota Dewan Mahkota seperti Pangeran Marta Sahary, Raja Kotawaringin, dan Raja Sukadana, lebih mendukung Inggris.
Keinginan mereka untuk perdagangan bebas, membuat perbedaan pendapat semakin kompleks, dan Contract Craemer Opperkoopman VOC mendorong agar kontrak tahun 1635 tetap berlaku. VOC menjaga monopoli perdagangan mereka dengan keras.
Mereka bahkan menolak memberikan surat pas untuk perdagangan Banjar ke Cochin China, meskipun Sultan Banjar memintanya. Hal ini mencerminkan tindakan VOC yang memonopoli perdagangan, dan tidak memberikan ruang bagi pedagang Jawa, Cina, Melayu, atau Makassar untuk berdagang dengan Banjarmasin.
Ketika Contract Craemer menolak permintaan Sultan Banjar untuk mengirimkan lada ke Makassar, perang melawan VOC pecah pada tahun 1638. Peristiwa ini berakhir tragis dengan tewasnya 108 orang Belanda dan 21 orang Jepang, serta loji VOC dibakar dan kapal-kapal mereka dihancurkan.
Kerugian yang diderita VOC mencapai angka yang sangat besar, sekitar 160.000,41 real. Hanya 6 orang Belanda di Martapura yang selamat setelah mau di-Islamkan secara paksa.
Kekerasan terhadap orang-orang Belanda dan Jepang ini tidak hanya didasarkan pada faktor ekonomi, akan tetapi juga perbedaan agama dan adat-istiadat antara Belanda dan Banjarmasin yang tidak bisa bersatu.
Sikap monopoli VOC dalam perdagangan lada juga memicu ketegangan. Taktik cerdik Kesultanan Banjarmasin untuk melindungi diri dari campur tangan VOC, serta menghindari penetrasi pedagang Inggris dan Portugis, membantu memulihkan hubungan mereka dengan Mataram.
Kesultanan Banjarmasin dan Mataram memiliki pandangan yang serupa terhadap pedagang asing, khususnya VOC, sehingga menjaga hubungan mereka tetap harmonis.