Kapitan Pemukiman Masyarakat Tionghoa Palembang

Kampung Kapitan, Pemukiman Masyarakat Tionghoa Kuno di Palembang

Posted on

Palembang disebut-sebut sebagai kota tertua di Indonesia. Usianya sudah 13 abad. Berdiri sejak 16 Juni 682. Bukti usia dari kota berjuluk Pempek tersebut sudah berabad lamanya itu ditunjukkan oleh prasasti Kedudukan Bukit. Bukti itu menunjukkan bahwa kota ini sudah mengalami serangkaian peristiwa bersejarah yang bermacam-macam.

Satu dari sekian bukti sejarah itu adalah keberadaan orang Tionghoa. Kedatangan bangsa Tionghoa ke Palembang tersebut untuk berdagang. Ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

Mengapa bangsa Tionghoa itu bisa mudah masuk ke kota tersebut?

Alasannya karena Palembang juga terkenal dengan keterbukaannya akan pendatang. Selain itu, pelabuhannya juga sangat terkenal sebagai pusat perdagangan di bumi Nusantara. Sementara itu, berbicara mengenai masalah masyarakat Tionghoa, diketahui sampai dengan saat ini masyarakat keturunannya pun sangat umum ditemui di Palembang.

Bahkan, mereka juga menyatu dan melebur dalam kelompok masyarakat hingga pada akhirnya ada juga yang melakukan pernikahan dengan warga lokal disana.

Di sisi lain, peninggalan sejarah terkait jejak kedatangan bangsa Tionghoa di Palembang juga cukup banyak ditemui. Akan tetapi ada salah satu aset sejarah yang menjadi sebuah penanda dari bermukimnya masyarakat Tionghoa di Palembang, yaitu Kampung Kapitan.

Kampung Kapitan berlokasi di Jalan KH Azhari atau tepatnya berada di tepian Sungai Musi, dekat dengan Benteng Kuto Besak. Menariknya lagi, sampai dengan sekarang Kampung Kapitan itu masih terus berdiri dan masih dihuni masyarakat Tionghoa meskipun statusnya juga telah menjadi cagar budaya.

Berdasarkan catatan sejarahnya, ternyata kampung ini jugalah yang menjadi tempat persinggahan para pedagang apabila ke Palembang. Tercatat, pendiri awal dari kampung tersebut adalah Lioang Taow Ming, seorang tokoh masyarakat Tionghoa yang cukup terpandang kala itu.

Lioang Taow Ming merupakan kepala kantor cabang dari lembaga perdagangan Cina yang memang diutus oleh pemerintah Dinasti Mingu untuk melakukan perdagangan di Palembang. Diceritakan suatu ketika, ia diangkat oleh Belanda sebagai perwira untuk mengatur wilayah tujuh Ulu dan daerah di sekitarnya. 

Kemudian setelah itu jabatannya pun diwariskan kepada penerusnya, Tjoa Kie Tjuan dengan pangkat mayor. Setelah itu berlanjut ke Tjoa Han Him yang bertitel kapiten atau kapitan.

Mulai dari sinilah penamaan ‘kapitan’ sebagai nama kampung pun mulai dipakai. Hal itu dikarenakan pada saat itu terdapat tiga rumah perwira yang menghuni kawasan ini.

Kampung Kapitan sendiri diperkirakan berdiri pada 1644 atau sejak zaman kedatangan Belanda ke Indonesia, mereka sudah menetap di sana. Pemukiman masyarakat Tionghoa ini terdiri atas bangunan-bangunan tua dengan gaya arsitektur pecinan lawas.

Jika dilihat secara ukuran, kawasan kampung ini memiliki luas total 165,9 × 85,6 meter. Selanjutnya, dari aspek kebudayaan, pemukiman ini juga merupakan hasil akulturasi antara budaya Tionghoa dan Palembang. Unsur Tionghoa itu sendiri bisa dilihat dari isian rumah beserta terasnya.

Sementara untuk pengaruh budaya Palembang bisa tercermin dari bentuk rumahnya dengan gaya rumah limas khas Sumatra Selatan. Tak hanya itu, sentuhan gaya eropa juga turut terlihat pada rupa bangunan. Uniknya, kendati sudah lama berdiri, namun bangunan yang tersisa masih bisa dimanfaatkan sebagai tempat tinggal.

Dulu, bahan utama yang digunakan untuk membuat rumah ini adalah kayu, namun seiring berkembangnya zaman, pemilihan material beton pun mulai dipakai untuk rumah. Meskipun begitu, gaya klasik dari penggunaan bahan kayu tersebut masih bisa dilihat pada bangunan di Kampung Kapitan ini.

Selain itu juga ada beberapa bangunan dengan arsitektur rumah panggung dan tiga bangunan bekas tempat tinggal perwira yang menjadi daya tarik utama dari kampung itu. Tak ketinggalan juga di bagian tengah perkampungan, ada sebuah area terbuka yang memiliki pagoda.

Saat ini, rumah Kapitan sendiri masih dihuni oleh keturunannya pada bangunan utama. Sedangkan pada bangunan lain, telah menjadi tempat untuk barang-barang peninggalan. Di sisi lain, saat ini kampung tersebut juga dikelola oleh keturunan ke-14 dari Tjoa Han Him.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *