Meskipun orang Tionghoa sudah jauh lebih awal berada di kota berjuluk Lumpia ini, namun berdasarkan sejarahnya kawasan pecinan Semarang yang berada di tepi barat Kali Semarang ternyata baru lahir pada tahun 1743.
Diketahui, seiring dengan terjadinya peristiwa pemberontakan Tionghoa yang terjadi di Batavia tahun 1740, di Semarang orang Tionghoa memiliki peranan dalam partisipasinya mengepung kota yang dilakukan oleh Mataram pada tahun 1740-1743.
Olivier Johannes Raap dalam bukunya ‘Kota Di Djawa Tempo Doeloe’ menuliskan, agar orang Tionghoa tersebut mudah diawasi, VOC memindahkan mereka ke kawasan pecinan. Sementara itu, di tepi Kali Semarang saat itu, berdiri 10 kelenteng yang salah satu kelentengnya bernama Siu Hok Bio yang sudah didirikan sekitar tahun 1753.
“Disana juga terdapat Gang Baru yang merupakan supermarketnya pecinan Semarang. Tercatat sampai dengan saat ini, setiap harinya digelar pasar pagi yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari di pinggiran jalan dan didepan ruko,” tulisnya.
Olivier menambahkan bahwa tempat itu juga terkenal sebagai asal ‘ibu-ibu gendong’ yakni perempuan pribumi dengan keranjang pada punggungnya dan menawarkan jasa membantu dalam membawa barang belanjaan dengan imbalan kecil.
“Sementara itu, sebelum terjadinya revolusi di negeri Tiongkok yang terjadi pada tahun 1911, pria keturunan Tionghoa diketahui seringkali memakai kucir rambut khas Dinasti Qing. Di pecinan Surabaya yang berdiri pada abad ke-17, di tepi timur Kali Mas saat VOC bermukim ditepi barat, dibangun bentengf Belvedere pada tahun 1678,” tulisnya.
Olivier menambahkan bahwa disana terdapat jalan yang merupakan bagian pecinan tertua dan Belanda saat itu menyebutnya dengan nama Chineesche Voorstraat atau Jalan Hadapan Cina dikarenakan berhadapan dengan pemukiman Belanda di seberang sungai.
“Seiring berjalannya waktu atau tepatnya pada abad ke-18, pecinan tersebut diperluas ke arah timur yang kemudian orang Jawa menjulukinya dengan Pecinan Kulon karena merupakan bagian barat dari Pecinan Surabaya,” tambahnya.
Selain itu, dikarenakan nama-nama lama disana tidak menunjukan ke-Indonesia-annya, maka sekitar tahun 1950-an ruas jalan itu berganti nama menjadi Jalan Karet yang sesuai dengan nama jalan disekitarnya yang bertemakan hasil perkebunan. Kebetulan juga di sepanjang jalan itu, banyak warga yang bekerja sebagai pengrajin karet.
Di pusat pecinan Surabaya juga ada perempatan yang menautkan antara Jalan Kembang Jepun dengan Jalan Slompretan. Di jalan itu juga sangat ramai dengan banyaknya pedagang barang keliling hingga kendaraan yang lalu lalang seperti sado dan gerobak dorong.
Diketahui bahwa nama Slompretan sendiri berasal dari kata Jawa Slompret yang berarti terompet atau pemain terompet. Pada zaman VOC tepatnya abad ke-18, di kawasan itu menjadi pemukiman militer dengan perumahan pemain terompet yang dimana ditiup saat mengadakan apel.
Meskipun pada abad ke-19 suasan militer hilang dan kawasannya sudah menjadi perluasan pecinan, namun orang pribumi tetap menyebutnya dengan Slompretan. Di sekitarnya juga terdapat beberapa nama jalan di peta lama yang akan mengingatkan kita pada hidangan Tionghoa.
Seperti, Bamistraat (Jalan Bakmi yang kini menjadi Jalan Samudera), Kimlostraat (Jalan Kimlo, kini jadi Jalan Bongkaran) yang pernah disebut juga dengan Tjaipostraat (Jalan Caipo) dan Blinde Varkenstraat (Jalan Babi Buntu, kini Songoyudan Gang 1).
Bukan tanpa alasan juga apabila Batavia dahulu disebut juga dengan ‘Venesianya Jawa’, khususnya di Kawasan Pecinan sebelah kota lama yang banyak dipotong kanal sebagai bagian penting dari infrastruktur dan ramai dilintasi perahu.
Disana juga terdapat sebuah bangunan gapura kelenteng beratap khas Tionghoa di tepi kali. Dalam komunitas Tionghoa, bagi mereka yang berhasil, wajib memberikan kontribusi pada komunitasnya seperti berupa sumbangan yang digunakan untuk membiayai kelenteng di kampungnya.
Bagi mereka juga, mendirikan kelenteng itu berarti membangun usaha yang dapat menguntungkan dari tip pengunjung.*