Kejayaan Arsitektur Rumah Dinas Penguasa di Jawa

Kejayaan Arsitektur Rumah Dinas Penguasa di Jawa

Posted on

Di masa lalu, kediaman para penguasa seperti residen, asisten residen, dan gubernur jenderal di Jawa memiliki rumah dinas yang megah sebagai simbol kejayaan dan untuk menunjang kinerja mereka. Rumah-rumah ini tidak hanya menampilkan kemewahan interior, tetapi juga arsitektur eksterior yang penuh cita rasa seni, mencerminkan gaya tradisional Jawa hingga gaya Eropa yang elegan.

Salah satu contoh yang mencolok adalah rumah asisten residen di Bogor, yang dibangun pada tahun 1821. Sayangnya, rumah ini hancur akibat gempa bumi, namun berhasil dibangun kembali pada tahun 1834. Dalam bukunya “Kota di Djawa Tempoe Doeloe,” Olivier Johannes Raap menjelaskan bahwa antara tahun 1832 hingga 1867, Buitenzorg—sebutan untuk rumah asisten residen—berubah status menjadi keresidenan mandiri, sehingga dihuni oleh seorang residen. Namun, tidak lama kemudian, Buitenzorg kembali menjadi keasisten residenan.

Olivier mencatat, “Pendopo mewah dua lantai tersebut dibangun dengan mengusung perpaduan gaya Eropa zaman VOC dan Jawa.” Pada tahun 1928, setelah reformasi pemerintahan, bangunan ini beralih fungsi menjadi kantor pembantu gubernur Provinsi Jawa Barat hingga 1976. Kini, bangunan tersebut telah bertransformasi menjadi Kantor Badan Koordinasi Wilayah.

Olivier juga menggambarkan suasana rumah dinas pejabat di Pulau Jawa pada zaman itu. Rumah asisten residen, yang sering disebut asistenan, dibangun dengan gaya arsitektur Eropa dan dihiasi tiang neoklasik yang megah, dikelilingi oleh halaman luas dan jalan setengah bundar yang ditanami pot bunga.

Bandung, yang menjadi ibu kota Keresidenan Priangan pada tahun 1856, juga memiliki rumah residen yang megah. Setelah resmi pindah pada tahun 1864, sebuah kediaman baru dibangun dan selesai pada tahun 1867. Rumah ini, yang kini dikenal sebagai Gedung Pakuan, menampilkan gaya arsitektur neoklasik dengan serambi yang didominasi oleh enam pilar putih bergaya Romawi.

Di Serang, terdapat rumah residen yang berdiri di sisi barat alun-alun, meskipun tidak memiliki masjid seperti pendopo di daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh ketidakkooperatifan Sultan Banten, Aliyuddin II, dalam pembangunan Jalan Raya Pos pada tahun 1808, yang mengakibatkan Kesultanan Banten dibubarkan dan berubah menjadi keresidenan di bawah Hindia Belanda. Kini, bangunan neoklasik ini berfungsi sebagai kantor Gubernur Provinsi Banten, tetap mempertahankan warisan arsitekturnya yang megah.

Dengan sejarah yang kaya dan arsitektur yang menawan, rumah dinas para penguasa di Jawa tidak hanya menjadi saksi bisu perjalanan waktu, tetapi juga simbol kejayaan dan kekuatan masa lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *