Koropak.co.id, Jakarta – Berdasarkan sejarahnya, keberadaan pasar malam di Indonesia telah memiliki keterikatan kuat dengan masyarakat. Pasalnya diketahui, riwayat pasar malam ini memang bisa ditelusuri sebelum masa kemerdekaan yakni sudah ada sejak abad ke-20.
Dilansir dari laman Vice, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko mengungkapkan bahwa kemunculan pasar malam pada masa itu karena didorong penggunaan listrik di kalangan masyarakat. Karena hal inilah yang menciptakan titik-titik hiburan di pusat perkotaan.
“Secara perlahan pasar malam jadi budaya orang kota. Tapi dampaknya itu nggak kepada mereka saja. Bagi orang-orang pinggiran kota, pasar malam itu pun kemudian menjadi peluang usaha untuk meningkatkan taraf perekonomian. Mereka datang untuk berjualan mulai dari barang sampai dengan makanan ringan,” ungkap Heri.
Heri menyatakan, orang-orang dari pinggiran itu datang ke kota untuk berdagang di pasar malam. Banyaknya pedagang yang berjualan di pasar malam, akhirnya menjadi sebuah urbanisasi informal yang bersifat temporer atau sementara.
Meskipun hanya diadakan pada momen-momen tertentu saja, akan tetapi perputaran uang yang dihasilkan dari pasar malam itu ternyata cukuplah besar. Sehingga secara tidak langsung hal itu juga mampu menopang keberlangsungan sektor ekonomi informal.
Tercatat, Pasar Gambir dikenal sebagai salah satu pasar malam yang diadakan pertama kalinya pada 1906-an. Kemudian setelah itu secara berkala diadakan setiap tahun sejak 1921-an hingga pecahnya Perang Dunia II pada 1942.
Pasar Gambir ini digelar di Koningsplein, Batavia, Hindia Belanda atau sekarang merupakan Lapangan Monas atau Medan Merdeka di Jakarta untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina dari Belanda. Acara ini jugalah yang menjadi cikal bakal Pekan Raya Jakarta.
Sementara di Pulau Jawa, terutama di kota Keraton Yogyakarta dan Surakarta, pasar malam biasanya digelar sepanjang pekan dengan nama pasar malam Sekaten. Sekaten sendiri dilaksanakan untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam.
Baca: Sejarah Jakarta Fair, Awalnya Dikenal dengan Nama Pekan Raya Jakarta
Di sisi lain, Heri juga menyatakan bahwa Solo menjadi pusat pasar malam pada masa pra-kemerdekaan. Menurutnya, ada tiga alasan penunjang yang membuat Solo berdiri sebagai sentra pasar malam. Alasan penunjang mulai dari kondisi geografis, keberadaan Keraton, hingga transportasi publik.
“Stasiun Balapan sering disebut sebagai ‘Jantung Jawa’. Sebab pada masa lampau, stasiun itu menjadi penghubung kereta yang menuju Jakarta atau Surabaya. Nah, orang-orang yang transit ini kemudian mengisi waktunya dalam menunggu keberangkatannya dengan pergi ke pasar malam,” paparnya.
Di satu sisi, peluang besar yang dihasilkan itu juga membuat pemerintah menjadikan pasar malam sebagai agenda. Pasar malam juga telah meruntuhkan sekat sosial, alasannya karena siapapun dapat datang ke pasar malam.
Meskipun begitu, citra pasar malam ini tak selamanya berkorelasi dengan ruang hiburan masyarakat. Sebab dalam beberapa kesempatan, ada pasar malam yang dipakai juga menjadi alat politik, seperti yang dilakukan oleh Lekra.
“Misalnya Lekra dengan memanfaatkan pasar malam di Taman Sriwedari untuk pamer kekuatan sekaligus juga untuk menjaring massa dari golongan wong cilik. Sementara di Sarekat Islam, pasar malam digunakan untuk ajang pelepas penat setelah penyelenggaraan vergadering (rapat akbar),” ujarnya.
Oleh karena itulah, pasca kemerdekaan menandai perubahan pada pasar malam, yang pada awalnya dari segi hiburan kini mulai bertambah. Misalnya ada permainan tong setan sampai dengan sirkus yang terinspirasi dari novel Arswendo Atmowiloto pada 1977.
Seiring berjalannya waktu, pasar malam mulai dijauhi oleh masyarakat menengah atas. Alasannya karena mereka tidak mau berjubel-jubel dalam keramaian. Sehingga hal inilah yang menandai pasar malam sebagai hiburan bagi orang miskin.