Kota Binjai, Bermula dari Nama Pohon di Pinggir Sungai

Posted on

Koropak.co.id – Salam dari Binjai! Nama kota itu sempat viral akibat aksi Paris Pernandes, mantan atlet tinju dari Binjai, Sumatra Utara, yang kerap melontarkan frasa tersebut.

Namun, tahukah kamu mengapa kota ini dinamakan Binjai? Menurut buku Asal Usul Kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe, sejarah mencatat bahwa pada 1832, wilayah ini bernama Kampung Bingai.

Konon, pada acara pembukaan kampung tersebut oleh beberapa tetua, upacaranya digelar di bawah pohon Binjai atau Mangifera caesia.

Pohon tersebut tumbuh di pinggir Sungai Bingai, yang kemudian di sekitar itu dibangun beberapa rumah. Hingga lambat laun bertambah banyak dan berkembang menjadi pelabuhan yang ramai. Lalu daerah itu kemudian disebut Binjai.

Sumber-sumber lain tentang asal usul nama Binjai merujuk ke beberapa referensi. Diketahui, bahwa Binjai adalah kata baku dari Binjei.

Binjei terdiri dari dua suku kata yakni ben dan i-jei yang dalam bahasa Karo memiliki arti “bermalam di sini”. Versi ini banyak diyakini oleh masyarakat asli Binjai, terutama suku Karo yang menjadi cikal bakal penduduk Binjai sekarang.

Hal ini diperkuat dengan fakta sejarah bahwa pada masa lalu, daerah ini adalah jalur yang digunakna Perlanja Sita, pedagang dari dataran tinggi Karo untuk barter dengan pegadang garam di Langkat.

Perjalanan yang jauh dan tidak bisa ditempuh semalam-dua malam, membuat para Perlanja Sira ini selalu bermalam di tempat yang sama. Seiring berjalannya waktu, tempat tersebut berubah menjadi permukiman Kuta Binjei alias Kota Binjai.

Pada 1823 Gubernur Inggris yang berpendudukan di Pulau Penang mengutus John Anderson untuk pergi ke pesisir Sumatera Timur dan dari catatan berjudul Mission to The Eastcoast of Sumatera-Edinbung 1826 tercatat sebuah kampung bernama Ba Bingai.

Baca : Bandung dan Jejak-jejak Sejarah yang Masih Ada

Sejak 1822, Binjai telah menjadi pelabuhan dengan aktivitas ekspor hasil pertanian lada dari Ketapangai (Pangai).

Memasuki 1864, J. Nienkyis, seorang pioner Belanda telah mencoba menanami Deli dengan tembakau dan dua tahun kemudian telah berdiri Deli Maatschappiy. Ekspansi Belanda untuk menguasai Deli juga dengan taktik politik pecah belah diantara para datuk.

Tetapi para datuk kepalang mengetahuinya dan melakukan perlawanan. Di bawah kepemimpinan Datuk Sunggal bersama raknyat Binjai membuat benteng pertahanan untuk menghadapi Belanda.

Tindakan datuk Sunggal membuat Belanda merasa terhina, hingga mereka akhirnya menbgutus Kapten Koops untuk menumpas para datuk. Peristiwa ini melahirkan pertempuran tertanggal 17 Mei 1872, yang kemudian menjadi tonggak sejarah dengan ditetapkan sebagai hari jadi Kota Binjai.

Perjuangan terus berlanjut hingga pada 24 Oktober di tahun yang sama, Datuk Kocik, Datuk Jalil, serta Suling Barat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Cilacap.

Tahun 1917, Belanda mengeluarkan Intelling Ordonantie Nomor 12 dimana Binjai ditetapkan sebagai Gementee dengan luas 267 hektare.

Sementara pada masa pendudukan Jepang, Binjai dikepalai oleh Kagujawa. Kemudian tahun 1944-1945, pemerintahan kota dipimpin oleh J. Runnanbi, seorang Ketua Dewan Ekslusif.

Saat revolusi, Binjai dikepalai oleh RM Ibnu dan Amir Hamzah kemudian dikukuhkan sebagai residen Langkat. Lalu kembalinya Belanda ke Indonesia tahun 1947, Binjai berada di bawah kekuasaan asisten residen J. Bunger dan RM Ibnu menjabar sebagai wakil walikota Binjai.

Tahun 1950-1956, Binjai menjadi kota administratif Kabupaten Langkat dengan O.K. Salamuddin sebagai walikotanya.

Berdasar Undang-undang Darurat No. 9 Tahun 1956, Binjai menjaid kota otonom dengan walikota pertama bernama S.S. Parumuhan.*

Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *