kawasan pecinan di nusantara

Menelusuri Sejarah Berdirinya Pecinan di Bumi Nusantara

Posted on

Berbicara mengenai Pecinan, pada awal abad ke-20 pecinan di berbagai kota semuanya mirip dengan ciri pemandangannya itu yang didominasi deretan rukonya yang khas.

Di banyak kota di bumi nusantara kala itu, pecinan merupakan kawasan pertama atau kedua setelah pemukiman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang benar-benar bersifat kota berdiri.

Olivier Johannes Raap dalam bukunya “Kota Di Djawa Tempo Doeloe” menuliskan, pecinan ini didirikan di lokasi yang strategis dari pasar, benteng, pemukiman Belanda dan pusat kota atau alun-alun.

“Pecinan di berbagai kota di nusantara juga memiliki sejarah yang berbeda dan dapat dikategorikan dari berbagai macam lokasi lahirnya seperti di Pelabuhan pra-VOC, kota VOC, daerah pembukaan lahan tanah, kerajaan pribumi, kota garnisun kolonial, kota kolonial yang berkembang,” tulis Olivier.

Sementara itu, dilansir dari liputan6.com, di nusantara, sebenarnya orang Tionghoa sudah menetap sejak lama. Akan tetapi struktur masyarakat mereka baru berkembang setelah kedatangan kolonialis Belanda. Selain itu, orang Tionghoa yang hijrah ke nusantara juga setidaknya terbagi menjadi dua kelompok besar.

Sejarawan Universitas Padjajaran, Tanti Restiasih Skober yang membahas sejarah orang Tionghoa di Bandung (1930-1960) dalam tesisnya mengatakan, para imigran Tionghoa yang datang ke Nusantara dimulai abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-19 berasal dari suku bangsa Hokkian.

“Mereka berasal dari Provinsi Fukien bagian selatan, dan daerah tersebut dalam catatan sejarahnya dianggap sebagai daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang Tionghoa di seberang lautan. Orang Hokkian itu juga banyak yang tinggal di Indonesia bagian timur, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Pantai Barat Sumatera,” katanya sebagaimana dihimpun Koropak, Sabtu 18 Desember 2021.

Tanti menambahkan, kelompok imigran Tionghoa lainnya yaitu orang-orang Hakka. Meskipun mereka termasuk suku bangsa Cina yang paling banyak merantau ke seberang lautan, namun mereka bukan suku bangsa maritim. Sebab, orang Hakka ini terpaksa merantau dikarenakan kebutuhan mata pencaharian hidup.

“Orang-orang Hakka inilah yang kemudian menjadi komunitas Tionghoa paling banyak di Jawa Barat. Akan tetapi, nasib mereka tidak berlangsung baik. Karena pada tahun 1740, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Jakarta. Pogrom yang pada umum dikenal sebagai Geger Pacinan pun dikabarkan menelan korban jiwa sekitar 5.000 hingga 10.000 manusia,” jelasnya.

Setelah tahun itu, Lanjut Tanti, keadaan mulai tentram kembali, namun dikeluarkanlah peraturan yang mengharuskan orang Tionghoa tinggal di kampung tertentu atau kita biasanya sebut dengan Pecinan. Kemudian disana akan ada juga opsir-opsir, seperti mayor letnan yang memimpin Pecinan tersebut.

Setelah dari sana, masyarakat etnis Tionghoa di Jawa Barat akhirnya semakin terpusatkan di suatu daerah tertentu. Bahkan mereka sampai bergumul di satu tempat sesuai dengan yang sudah ditetapkan oleh kolonialis Belanda. Di Bandung, berdasarkan data dan sumber arsip yang lebih spesifik, tercatat sejak tahun 1810-an, Pecinan sudah ada di Priangan

Pecinan di Priangan itu tersebar di beberapa daerah seperti di Cianjur, Bandung, Parakanmuncang, Sumedang, Limbangan dan Galuh. Lagi-lagi, pemerintah kolonial Belanda menetapkan peraturan yang membatasi gerak-gerik komunitas Tionghoa.

Hal itu dikarenakan, Pecinan di Bandung yang terkontruksi berada di dekat pasar, terkenal kotor dan hanya menyisakan sedikit ruang bersih. Bahkan pada awalnya Restoran Tionghoa juga tidak terkenal bersih.

Melihat kondisi itulah yang membuat pemerintah Hindia Belanda kemudian membuat kebijakan yang kaku. Contohnya dengan menerapkan aturan untuk membersihkan restoran-restoran Cina.

Secara aktivitas ekonomi, mereka pun sebenarnya tidak terlalu leluasa di luar Pecinan. Berdasarkan Ketetapan Gubernur Jernderal 6 Juli 1820 nomor 23 dituliskan bahwa, “Orang-orang Cina, yang belum mendapatkan izin resmi dalam daerah hukum Karesidenan Priangan, harus menghentikan usahanya. Selain itu, jumlah gerobak yang digunakan untuk berdagang dibatasi.”

Meskipun begitu, pihak-pihak yang menderita akibat pembatasan itu sebenarnya bukan hanya orang-orang Cina saja, bahkan orang-orang Arab sekalipun merasakan akibatnya. Artinya, previlege yang diberikan kolonial Belanda sama sekali tidak sebanding dengan segala pembatasan yang diterima orang Tionghoa.

Misalnya saja dengan pembentukan anti-rentenir, orang Eropa kala itu mencoba untuk menekan saudagar Tionghoa yang bukan hanya berdagang, akan tetapi juga mendapatkan untung dari meminjamkan uang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *