Sejarah Kedaton Ambarrukmo

Menguak Sejarah Kedaton Ambarrukmo di Yogyakarta

Posted on

Kedaton Ambarrukmo, salah satu situs bersejarah di Yogyakarta, memiliki nilai sejarah dan budaya yang mendalam. Terletak di kawasan Sleman, kedaton ini merupakan salah satu peninggalan penting dari Kesultanan Yogyakarta yang menunjukkan kekayaan budaya dan arsitektur Nusantara.

Kedaton Ambarrukmo yang sudah masuk sebagai cagar budaya ini terbagi menjadi tiga wilayah, yakni Pendopo Agung, Museum Ambarrukmo, dan Bale Kambang. Kedaton Ambarrukmo ini juga diketahui pernah menjadi saksi bisu hari Kemerdekaan Indonesia.

Selain itu, Kedaton Ambarrukmo juga menjadi tempat Pesanggrahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Awalnya, Pendopo Agung ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono VI pada 1857-an.

Sebelum menjadi tempat yang menampilkan arsitektur Jawa autentik dari abad ke-18 dan karya seni dari 1964-an, pendopo tersebut juga pernah menjadi tempat beristirahatnya keluarga kerajaan dan menjadi kediaman resmi Sultan Hamengku Buwono VII setelah ia turun takhta.

Diketahui sejak pertama berdiri, Pendopo Agung itu sama sekali belum mengalami perubahan bentuk dan masih sama seperti sebelumnya, yakni memiliki bentuk dasar berupa ‘Joglo Sinom’ dengan ukuran 32 x 32,4 meter dan mengarah ke selatan.

Sementara untuk atapnya ditopang oleh 36 tiang yang terdiri dari tiga jenis yaitu 4 Saka Guru atau saka utama, 12 Saka Penanggap atau yang merupakan pilar pembantu, dan 20 Saka Penitih atau pilar pendukung. Menariknya, pilar-pilar tersebut dihiasi dengan berbagai ukiran seperti Saton, Mirong, Wajikan, dan Praba.

Kemudian untuk masing-masing pilarnya juga diletakkan di atau ‘umpak’ atau dasar batu yang diukir dengan kaligrafi Arab. Tak hanya itu saja, pendopo itu juga memiliki lantai yang lebih tinggi dibandingkan bangunan di sekitarnya karena memiliki makna menghargai kepada setiap tamu yang datang. 

Sedangkan bangunan yang tanpa dinding tersebut bermakna raja yang terbuka pada rakyat. Selanjutnya untuk bagian kedua dari Kedaton Ambarrukmo yakni Bale Kambang, terdiri dari sebuah bangunan dua lantai berbentuk segi delapan yang berdiri kokoh di tengah kolam.

Bale Kambang itu terinspirasi dari istana air yang terdapat di Taman Sari. Pada awalnya, di lantai bagian atas digunakan untuk meditasi Raja dan kolamnya digunakan sebagai tempat bersantai bagi keluarga kerajaan lainnya.

Meskipun Bale Kambang bergaya kolonial Belanda, akan tetapi bangunan tersebut tetap dipadukan dengan filosofi arsitektur autentik Jawa. Bukan tanpa alasan, alasannya adalah sebagai bentuk penghormatan kepada pemerintahan Belanda yang tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat Jawa.

Terakhir wilayah ketiga adalah Ndalem Ageng atau yang kini dikenal sebagai Museum Ambarrukmo merupakan bagian ketiga dari Kedaton Ambarrukmo yang berlokasi di sisi utara Pendapa Agung.

Museum Ambarrukmo sendiri memiliki bangunan yang khas dan unik, yakni berbentuk limasan yang menghadap ke selatan dengan tampilan eksterior khas Jawa namun interiornya kental dengan pengaruh gaya Eropa.

Selain itu juga, semua ruangan di Ndalem Ageng berbentuk simetris yang dikelilingi dengan dinding beton kuat. Sedangkan bagian kayunya ada di sisi utara dan selatan, yang dijuluki juga dengan Pringgitan atau ruangan wayang kulit dan Gadri yang merupakan ruang makan.

Sementara di bagian dalamnya ada tiga ruangan dengan posisi yang lebih tinggi dan masing-masing memiliki makna. Seperti dua di timur yaitu Senthong Kiwa yang digunakan untuk anggota laki-laki, dua di barat yaitu Senthong Tengen untuk anggota perempuan, dan Senthong Tengah untuk meletakkan senjata pusaka dan ruang pemujaan Dewi Sri.

Ketiganya memiliki akses ke dalam bangunan dan juga ke halaman samping. Selain ketiga bagian utama yang telah disebutkan diatas, ada juga beberapa bagian lainnya yang tak kalah pentingnya seperti Paretan atau lorong yang dulunya sebagai tempat siaga oleh kereta kuda Kerajaan Raja, serta relief dan mozaik yang tak bukan sekadar jadi hiasan namun memiliki makna mendalam.

Berdasarkan catatan sejarah, bangunan ini dibangun pada medio 1792. Sehingga dalam artian kini bangunan tersebut telah berusia sekitar 230 tahun. Kendati bangunan itu sudah mencapai berusia ratusan tahun, namun keaslian arsitektur bangunan masih tampak terjaga dengan baik. Mulai dari pendopo, Ndalem Ageng hingga Bale Kambang.

Saat ini bangunan utama dari pendopo itu digunakan sebagai Museum Ambarrukmo dengan diisi oleh berbagai peninggalan raja-raja Keraton Yogyakarta, mulai dari Sri Sultan Hamengku Buwono I hingga Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *