Gedung Sumpah Pemuda

Mengungkap Sejarah Museum Sumpah Pemuda 1928

Posted on

Gedung Sumpah Pemuda menjadi salah satu gedung bersejarah yang berada di Jakarta Pusat. Dalam perjalanan sejarahnya, gedung ini merupakan lokasi dilaksanakannya Kongres Pemuda II pada 27 s.d 28 Oktober 1928. Kemudian pada 20 Mei 1973, Pemerintah meresmikan Gedung Sumpah Pemuda.

Sementara itu, berdasarkan catatan yang ada, gedung yang saat ini dikenal dengan Museum Sumpah Pemuda itu pada awalnya merupakan rumah tinggal milik Sie Kong Lian yang didirikan pada permulaan abad ke-20.

Namun Sejak 1908-an, bangunan yang dikenal juga dengan nama Gedung Kramat 106 pun disewa pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) dan Rechtsschool (RS) sebagai tempat tinggal dan belajar. Saat itu, gedung tersebut dikenal dengan nama Commensalen Huis.

Tercatat, mahasiswa yang pernah tinggal disana adalah Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana.

Kemudan sejak 1927-an, Gedung Kramat 106 itu digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk melakukan berbagai kegiatan pergerakan. Bahkan Presiden Soekarno dan juga tokoh-tokoh Algemeene Studie Club Bandung sering hadir di Gedung Kramat 106 untuk membicarakan format perjuangan dengan para penghuni Gedung Kramat 106.

Menariknya, di gedung ini jugalah pernah diselenggarakan kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Gedung ini juga turut menjadi sekretariat PPPI dan sekretariat majalah Indonesia Raja yang dikeluarkan PPPI.

Mengingat juga digunakan oleh berbagai organisasi, maka sejak 1927-an, Gedung Kramat 106 yang awalnya bernama Langen Siswo pun diubah menjadi Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan). 

Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada 15 Agustus 1928-an, gedung ini pun diputuskan untuk menjadi tempat diselenggarakannya Kongres Pemuda Kedua mulai 27 s.d 28 Oktober 1928. Dalam kongres itu, Soegondo Djojopuspito sebagai ketua PPPI terpilih sebagai ketua kongres.

Dalam pelaksanaan Kongres Pemuda Kedua itu pun diharapkan akan menghasilkan keputusan yang lebih maju dan di gedung tersebut juga memang dihasilkan sebuah keputusan yang lebih maju, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Setelah peristiwa Sumpah Pemuda itu, banyak penghuninya yang meninggalkan gedung Indonesische Clubgebouw dikarenakan sudah lulus belajar. Setelah para pelajar tidak melanjutkan sewanya, pada 1934-an, gedung itu kemudian disewakan kepada Pang Tjem Jam selama 1934 s.d 1937-an sebagai rumah tinggal.

Kemudian pada 1937 s.d 1951-an, gedung ini disewa Loh Jing Tjoe yang menggunakannya sebagai toko bunga mulai dari 1937 s.d 1948-an dan beralih fungsi menjadi Hotel Hersia sejak 1948 s.d 1951-an.

Selanjutnya pada 1951 s.d 1970-an, Inspektorat Bea dan Cukai menyewa Gedung Kramat 106 itu untuk perkantoran dan penampungan karyawannya. Namun tiga tahun kemudian atau tepatnya pada 3 April 1973-an, Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta melakukan pemugaran pada Gedung Kramat 106 yang selesai pada 20 Mei 1973.

Setelah itu, Gedung Kramat 106 akhirnya dijadikan sebagai museum dengan nama Gedung Sumpah Pemuda. Diketahui, yang menjadi alasan Gedung Kramat Raya 106 ini dijadikan Museum, karena gedung tersebut memiliki sederet perjalanan sejarah yang menyertainya.

Di sisi lain, gedung itu juga menjadi saksi bisu dari proses panjang pembentukan semangat perjuangan bagi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, di tempat dilaksanaannya Kongres Pemuda Kedua inilah, sendi-sendi dasar persatuan Indonesia didiskusikan, dirumuskan, untuk kemudian diikrarkan menjadi Sumpah Pemuda.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *