Pertempuran Tarakan, yang terjadi pada Mei 1945, adalah pertempuran pertama dalam Kampanye Borneo dan menandai fase penting dalam upaya Sekutu untuk mengamankan wilayah tersebut dari kekuatan Jepang.
Pada 1 Mei 1945, pasukan Australia melakukan pendaratan amfibi besar-besaran di pulau Tarakan, dengan nama sandi “Operasi Obo Satu”.
Meskipun pertempuran ini berakhir dengan kemenangan bagi Sekutu, banyak ahli berpendapat bahwa harga yang dibayar dalam nyawa dan sumber daya terlalu mahal dibandingkan dengan keuntungan strategis yang diperoleh.
Tarakan adalah sebuah pulau kecil di lepas pantai Borneo, dengan luas sekitar 303 kilometer persegi. Pada masa itu, pulau ini didominasi oleh rawa-rawa dan hutan lebat yang sulit dijelajahi. Meskipun demikian, Tarakan memiliki nilai strategis tinggi karena kekayaan minyaknya.
Dua ladang minyak di pulau ini memproduksi sekitar 80.000 barel minyak per bulan pada tahun 1941, menjadikannya salah satu pusat produksi minyak penting di Hindia Belanda.
Jepang melihat Tarakan sebagai target utama untuk mengamankan pasokan minyak selama Perang Pasifik. Pada 11 Januari 1942, Jepang menyerang Tarakan dan berhasil mengalahkan garnisun Belanda hanya dalam dua hari pertempuran.
Kendati Belanda sempat melakukan sabotase terhadap ladang minyak, Jepang dengan cepat memperbaikinya dan meningkatkan produksi hingga 350.000 barel per bulan pada awal 1944.
Penduduk lokal, yang berjumlah sekitar 5.000 orang, menderita di bawah pendudukan Jepang akibat kekurangan makanan dan kebijakan keras yang diterapkan oleh penjajah.
Sasaran utama Sekutu dalam serangan ke Tarakan adalah untuk merebut dan mengembangkan lapangan udara di pulau itu guna mendukung pendaratan berikutnya di Brunei, Labuan, dan Balikpapan.
Selain itu, Sekutu juga berencana untuk merebut ladang minyak Tarakan sebagai sumber daya strategis. Sekutu, yang dipimpin oleh Brigade ke-26 Australia, berjumlah hampir 12.000 prajurit dengan dukungan udara dan laut yang kuat.
Pasukan Sekutu terdiri dari hampir 12.000 prajurit dari Grup Brigade ke-26 Australia, didukung oleh angkatan udara dari Australian First Tactical Air Force dan United States Thirteenth Air Force, serta angkatan laut dari United States Seventh Fleet.
Pasukan ini jauh melebihi kekuatan garnisun Jepang di Tarakan yang berjumlah sekitar 2.200 prajurit. Sementara itu, Jepang memusatkan pertahanan mereka di sekitar Lingkas, pelabuhan utama Tarakan, dan menyiapkan ranjau serta posisi pertahanan yang kuat.
Sebelum pendaratan utama, Sekutu melancarkan serangan udara dan laut intensif untuk melumpuhkan pertahanan Jepang. Pada 1 Mei, pasukan utama Australia mendarat di pantai Tarakan dengan sedikit perlawanan dari Jepang.
Meskipun demikian, kemajuan mereka terhambat oleh kondisi pantai yang buruk dan banyak kendaraan terjebak di lumpur. Pertempuran di daratan Tarakan berlangsung dengan sengit, terutama di daerah perbukitan dan hutan lebat yang sulit diakses.
Pasukan Jepang bertahan di posisi mereka dengan gigih, menyebabkan pertempuran berlangsung hingga pertengahan Juni. Pada akhirnya, pasukan Sekutu berhasil menguasai pulau tersebut, meskipun mereka menghadapi perlawanan kecil dari sisa-sisa pasukan Jepang yang bertahan.
Walaupun Sekutu berhasil memenangkan pertempuran dan merebut Tarakan, hasil yang dicapai tidak sebanding dengan kerugian yang diderita.
Lapangan udara yang berhasil direbut ternyata membutuhkan waktu lebih lama untuk diperbaiki daripada yang diperkirakan, sehingga tidak dapat digunakan untuk mendukung operasi lebih lanjut secara efektif.
Korban yang diderita oleh pasukan Australia juga lebih tinggi dibandingkan dengan operasi lain dalam Kampanye Borneo. Pertempuran Tarakan menunjukkan pentingnya perencanaan yang matang dan koordinasi antara berbagai angkatan dalam operasi militer gabungan.
Pada akhirnya, operasi di Tarakan menjadi subjek kontroversi, dengan banyak yang berpendapat bahwa operasi ini tidak memberikan keuntungan strategis yang sepadan dengan biaya yang harus dibayar.
Namun, bagi penduduk sipil Tarakan, kemenangan ini membawa harapan dan pembebasan dari pendudukan Jepang yang brutal. Ladang minyak di pulau ini juga segera diperbaiki dan kembali berproduksi, memberikan lapangan kerja bagi banyak penduduk lokal setelah perang berakhir.