Kita pasti sering mendengar sapaan “Pak Haji” bagi laki-laki atau “Bu Hajjah” bagi perempuan yang sudah menunaikan ibadah haji di Makkah. Bagi masyarakat Indonesia, panggilan seperti itu sudah lazim.
Bukan hanya dalam pergaulan sehari-hari, tapi juga masuk ranah administrasi. Tak sedikit orang yang menambahkan huruf ‘H’ atau ‘Hj’ dalam namanya. Pertanyaannya, sejak kapan mulai ada panggilan haji atau hajjah kepada mereka yang pulang dari Makkah?
Berdasarkan beberapa literatur, pemberian gelar dan panggilan tersebut sudah ada sejak zaman kerajaan. Pada zaman Kerajaan Galuh, misalnya. Bratalegawa, putra kedua dari Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata sang penguasa Kerajaan Galuh (1357 s.d. 1371), kala itu sering melakukan pelayaran ke Sumatera, Cina, India, Srilanka, Iran, hingga sampai ke negeri Arab.
Bratalegawa menikah dengan seorang muslimah asal Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan itulah Bratalegawa akhirnya memeluk agama Islam. Ia pun menjadi orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di Kerajaan Galuh, dan dia dikenal dengan sebutan ‘Haji Purwa’. Kemudian ada Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang, putra Prabu Siliwangi.
Keduanya pernah berguru dan belajar agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon. Atas saran Syekh Datuk Kahpi, Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Makkah antara 1446 s.d. 1447 atau satu abad setelah Bratalegawa menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu agama Islam.
Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah, Syarif Abdullah. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai dua orang anak, yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450).
Sebagai seorang haji, Raden Walangsungsang berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Sementara sang adik, Rarasantang, berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.
Pada masa Kesultanan Banten, putra Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Kahar dikirim ke Makkah untuk menemui Sultan Makkah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu setelah itu dia melanjutkan perjalanan ke Turki.
Dikarenakan kunjungannya ke Makkah sekaligus menunaikan ibadah haji, sepulang dari sana Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan ‘Sultan Haji’.
Pemberian gelar haji pada masa kolonial Belanda dilakukan secara massif. Pada 1859-an, kolonial mulai menerbitkan sertifikat haji. Itu dilakukan agar mereka dapat mengawasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah. Soalnya, mayoritas orang yang pergi haji saat itu, ketika pulang ke tanah air banyak yang melakukan perubahan dan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam konteks itu, sebutan Haji atau Hajjah pada awalnya merupakan bagian dari taktik dan strategi kolonial Belanda untuk memberikan atribut politik bagi orang muslim dan membatasi pergerakan mereka dalam melawan penjajahan.