Tanggal 20 November 1946 atau tepatnya 76 tahun silam menjadi peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia terutama masyarakat Bali. Di tanggal itu terjadi peristiwa pertempuran habis-habisan yang dilakukan pasukan Resimen Sunda Kecil yang dipimpin Kepala Divisi Kolonel I Gusti Ngurah Rai melawan Belanda.
Peristiwa yang dikenal dengan nama “Puputan Margarana” itu berpusat di Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan Bali. Akibat peristiwa itu jugalah menjadikan I Gusti Ngurah Rai sebagai tokoh Puputan Margarana.
Diketahui dalam bahasa Bali, “Puputan” berarti perang yang dilaksanakan sampai mati atau sampai dengan titik darah penghabisan. Sementara untuk Margarana sendiri mengacu pada tempat pertempuran berlangsung.
Dalam pertempuran itu, Pasukan TKR di wilayah ini bertempur dengan habis habisan untuk mengusir Pasukan Belanda yang kembali datang ke bumi Nusantara setelah kekalahan Jepang. Pasukan Belanda kembali ke tanah air untuk menguasai kembali wilayahnya yang direbut Jepang pada Perang Dunia II.
Akibat pertempuran tersebut, seluruh pasukan termasuk I Gusti Ngurah Rai gugur hingga peristiwa itu pun dikenang sebagai salah-satu Puputan pada era awal kemerdekaan dan mengakibatkan Belanda sukses dalam mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT).
Lantas, apa yang menjadi latar belakang hingga kronologi ternjadi Puputan Margarana ini?
Dilansir dari situs Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klungkung, saat itu Pasukan Belanda berambisi untuk kembali menguasai kembali wilayahnya yang direbut oleh Jepang dan membuat Negara Indonesia Timur (NIT).
Namun sayangnya, I Gusti Ngurah Rai sendiri menolak rencana Belanda tersebut. Bahkan, I Gusti Ngurah Rai juga sampai menegaskan bahwa selama Pasukan Belanda masih berada di Bali, maka pejuang dan rakyat Bali akan terus melakukan perlawanan.
Di sisi lain, berdasarkan Perjanjian Linggarjati 15 November 1946, Belanda sendiri hanya mengakui kekuasaan de facto Indonesia pada wilayah Jawa, Madura dan Sumatra. Akibatnya, pengakuan secara de facto ini jugalah yang memunculkan rasa kekecewaan dalam hati rakyat Bali yang belum diakui secara de facto sebagai wilayah Indonesia.
Kemudian pada 18 November 1946, markas pertahanan atau militer Belanda di Tabanan, Bali diserang secara habis-habisan. Hal inilah yang membuat Belanda menjadi murka hingga mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengepung Bali, khususnya daerah Tabanan.
Pada masa itu, Belanda mengirimkan pasukan Gajah Merah, Anjing Hitam, Singa, Polisi Negara, hingga Polisi Perintis. Tak hanya itu saja, Belanda juga turut mengirimkan tiga pesawat pemburu miliknya dan pasukan yang dikirim Belanda tersebut mulai melakukan serangan pada 20 November 1946 pukul 05.30 WITA.
Pasukan kiriman Belanda itu menembaki area pasukan warga Bali. Dikarenakan kekuatan persenjataan yang dimiliki pasukan warga Bali yang tergolong minim, akibatnya mereka pun belum bisa melakukan aksi balas serangan kepada pasukan Belanda.
Selanjutnya sekitar pukul 09.00 WITA, pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 20 orang mulai mendekat dari arah barat laut. Namun beberapa saat kemudian terdengarlah suara tembakan hingga membuat 17 orang pasukan Belanda tewas tertembak oleh pasukan Ciung Wanara yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai.
Setelah mengetahui jika pasukan yang dikirimkannya itu mati, Belanda pun melakukan aksi serangan dari berbagai arah. Namun sayangnya, upaya yang dilakukan beberapa kali itu justru mengalami kegagalan dikarenakan pasukan Ciung Wanara berhasil melakukan aksi serangan balik.
Tak hanya itu saja, Belanda juga sempat menghentikan aksi serangannya selama satu jam, lalu beberapa saat kemudian kembali menyerang dengan mengirimkan banyak pasukan serta pesawat terbang pengintai sekitar pukul 11.30 WITA. Lagi-lagi, serangan yang dilakukan Belanda kala itu kembali berhasil dihentikan oleh pasukan Ciung Wanara.
Di dalam pertempuran sengit yang terjadi saat itu, semua anggota pasukan I Gusti Ngurah Rai juga bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Mulai dari sinilah pasukan I Gusti Ngurah Rai pun mengadakan “Puputan” atau yang berarti perang habis-habisan yang berlangsung di Desa Margarana.
Akibatnya, pasukan I Gusti Ngurah Rai yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk pimpinannya I Gusti Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda setidaknya ada lebih kurang 400 orang yang tewas akibat pertempuran habis-habisan itu.
Sehingga, untuk mengenang peristiwa yang terjadi pada 20 November 1946 atau yang dikenal dengan perang Puputan Margarana, kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan sebuah Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.