Keberadaan rumah dinas untuk para pejabat menjadi hal lumrah. Para pejabat di berbagai tingkatan biasa tinggal di rumah khusus yang diperuntukan untuk mereka selama memegang amanah.
Keberadaan rumah dinas sudah ada sejak dulu. Olivier Johannes Raap dalam bukunya Buku “Kota Di Djawa Tempoe Doeloe”, menyebutkan bahwa keberadaan rumah dinas mewah ini sudah ada sekitar awal abad ke-20.
“Seorang pemimpin mulai dari sultan, patih, bupati, wedana, gubernur jenderal, residen hingga asisten residen biasanya menghuni rumah-rumah mewah. Mereka merupakan pejabat pemerintah dari dua aparat yang menguasai Jawa, yakni aparat kolonial dan pribumi yang saling memerintah satu sama lain,” tulis Oliver.
Ia menjelaskan, seseorang yang memiliki pangkat pejabat pemerintah di bawah bupati pada masa kolonial biasanya disebut dengan wedana. Wedana juga memiliki sebuah rumah contohnya seperti kompleks rumah wedana di Cirebon yang terdiri dari pendopo dan rumah tinggalnya.
Pendopo yang berdiri di depan kediaman penguasa pribumi biasanya sering digunakan untuk berbagai acara formal yang berkaitan dengan masalah jabatan. Sementara rumah tinggal yang ditempati penguasa lebih bersifat privasi.
Selain itu, pendopo juga memiliki atap tajug yang ditopang oleh 36 tiang penyangga. Pendopo juga merupakan bangunan terbuka tanpa dinding dan sering ditambahkan barisan pot bunga disetiap sisinya untuk memperkuat perbatasan antara luar dan dalamnya.
Sementara di Wonosobo, terdapat kompleks kabupaten dengan pendopo dan rumah bupati Wonosobo didalamnya yang dibangun sekitar tahun 1870. Kompleks kabupaten tersebut sebenarnya merupakan bangunan baru setelah bangunan lamanya hancur akibat gempa bumi pada tahun 1830.
Pendopo yang berada di kompleks kabupaten tersebut disokong 64 tiang penyangga. Pada sisi depan pendopo juga turut ditempel sebuah atap kanopi yang menjorok ke depan dengan hiasan ukiran kayu yang khas awal tahun 1900-an pada bagian segitiiga depan.
Sayangnya setelah mengalami kerusakan parah akibat perang yang terjadi pada tahun 1940-an, atap berbentuk piramida pada pendopo itu pun diganti dengan atap joglo. Meskipun begitu, hingga saat ini kompleks tersebut masih tetap berfungsi sebagai rumah dinas bupati.
Selain Wonosobo, Magelang juga memiliki kompleks kabupaten yang didalamnya terdapat pendopo tajug dan rumah dinas bupati yang dibangun di arah sudut barat Alun-alun Magelang.
Berdasarkan data yang dihimpun Koropak dari Buku Kota Di Djawa Tempoe Doeloe karya Olivier Johannes Raap, pembangunan kompleks kabupaten tersebut dimulai pada tahun 1810 saat Magelang menjadi ibu kota kabupaten.
Sama halnya dengan di Wonosobo, pendopo di Magelang juga memiliki konstruksi dengan 36 buah tiang kayu yang menopang sebuah atap tradisional khas Jawa bergaya tajug yang besar. Diketahui bahwa pendopo juga pernah mengalami beberapa kali renovasi.
Tercatat sekitar tahun 1870-an, tiang penyangga yang tebal diganti dengan tiang kurang tebal hingga pada abad ke-20, atap bagian atas pendopo berubah bentuk beberapa kali hingga pada akhirnya menjadi model joglo. Saat ini, kompleks tersebut pun berubah menjadi Balai Diklat Kepemimpinan Magelang.
Tak hanya di daerah Jawa, di Jawa Barat tepatnya di Bandung terdapat kompleks kabupaten yang dibangun di sisi selatan alun-alun pada tahun 1810 atau tepatnya pada saat Kota Bandung didirikan dan didalamnya dibangun pendopo tajug tumpang dan rumah dinas bupati yang dikelilingi halaman luas.
Kompleks kabupaten tersebut juga tercatat berkali-kali mengalami renovasi. Sebelumnya, pendopo tersebut beratap jogla dan sekitar tahun 1920-an diganti dengan atap model tajug tumpang karena pendopo lama itu dianggap terlalu bergaya Jawa Tengah.
Sementara itu, kini eks kabupaten tersebut menjadi rumah dinas Wali Kota Bandung. Selain itu, pendopo kabupaten yang bergaya atap sama itu juga turut dibangun di Tasikmalaya dan Cianjur.
Di Solo sendiri terdapat kompleks rumah patih (Perdana Menteri di Pemerintahan Susuhunan). Setelah pindah beberapa kali, akhirnya kepatihan pun mulai dibangun oleh Patih Kanjeng Raden Aria Sastraningrat pada tahun 1769.
Pendopo kepatihan itu memiliki atap bergaya joglo dengan kedua puncaknya yang bertanduk. Di belakang pendopo juga turut dibangun kediaman atau rumah tinggal patih.
Pada akhir tahun 1900-an, sesuai dengan kebiasaan, gedung tersebut dipercantik dengan bagian-bagian Eropa seperti pilar-pilar besi dan atap kanopi. Bahkan di kedua sisi pintu utamanya juga ditempatkan patung bergaya Romawi. Sayangnya, saat terjadinya Perang Kemerdekaan tahun 1948, bangunan tersebut hancur tak berbekas.
Surakarta juga memiliki sebuah pendopo agung Sasana Sewaka yang berada di kompleks Keraton Hadiningrat yang konon kabarnya dipindahkan dari istanan Kartasura pada tahun 1745. Pendopo bergaya joglo ini sendiri berfungsi sebagai tempat pertemuan acara besar yang ada di depan bagian dalem, dimana terdapat juga ruangan pribadi susuhunan.
Pada tahun 1985, pendopo tersebut mengalami kebakaran dan dibangun kembali namun sayangnya lampu yang ada sebelumnya bergaya Eropa itu diganti dengan yang baru, sehingga tampak berbeda dengan yang aslinya.
Di pendopo itu juga terdapat komponen utama dari kerangka yang dikenal dengan nama Soko Guru atau empat tiang kayu utama yang berdiri ditengah gedung dan menjadi penyangga atap joglo atau tajug bagian tengah gedung.