Pada zaman Perang Diponegoro (1825-1830), Magelang menjadi kota garnisun Belanda. Sebagai kota yang memfasilitasi militer, membuat para pedagang dan pengrajin Tionghoa diajak untuk menetap disana sebagai penjual berbagai kebutuhan hingga tenaga kerja untuk membangun pemukiman Belanda.
Tercatat pada tahun 1830-an dilakukanlah pengangkatan seorang letnan Tionghoa dan keadaan tiga areal pemakaman Tionghoa ada di kisaran pertengahan tahun 1800-an. Kemudian pada tahun 1864 di alun-alun dibangunlah Kelenteng Liong Hok Bio yang membuktikan bahwa komunitas mereka sudah berkembang.
Olivier Johannes Raap dalam bukunya ‘Kota Di Djawa Tempo Doeloe’ menuliskan, di sepanjang Jalan Raya Semarang-Yogyakarta (kini Jalan Pemuda), membentang sebuah kawasan pecinan diantara alun-alun dan Pasar Rejowinangun.
“Di masa itu, jejeran ruko yang lumayan sederhana berlantai satu dengan perbatasan jalan yang ditandai barisan pohon. Di kawasan pecinan itu juga terdapat persimpangan rel kereta api di sebelah utara Stasiun Pasar. Namun sekarang di bekas tempat rel dibangun trotoar lebar dan indah yang membuat jalan nyaman untuk pejalan kaki,” tulisnya.
Olivier menambahkan, dikarenakan memotong kota sejuta bunga dari utara ke selatan, membuat jalan tersebut dijuluki sebagai Malioboro-nya Magelang. Sementara itu di Ambarawa juga terdapat kawasan pecinan yang dibangun 500 meter di sebelah utara benteng dengan lokasi dekat Pasar Projo yang berada di Jalan Raya Semarang-Yogyakarta.
“Ambarawa sendiri merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Semarang yang pada dua abad lalu masih belum merupakan kota. Ambarawa juga berarti rawa yang luas (amba) dan nama ini merujuk pada Rawa Pening yang lokasinya dengan kota itu,” tambahnya.
Karena dinilai strategis, Belanda pun mulai membangung benteng Willem I yang beroperasi penuh pada tahun 1850 dan seperti biasa, pendirian benteng itu juga diikuti dengan pendirian kawasan pecinan yang menyediakan berbagai fasilitas untuk benteng.
Di Bandung, pada masa itu terdapat sebuah toko bernama Toko Soekabumi yang berdiri di jantung pecinan Bandung. Tercatat sekitar abad ke-19, barisan bangunan sederhana berbahan bilik yang ada di pecinan tersebut diganti dengan ruko berdinding batu yang berhiasan khas.
Kawasan pecinan di Bandung sendiri diketahui masih relatif muda, karena orang-orang Tionghoa juga baru mau bermukim di sebuah kota sesudah kota tersebut cukup besar dan dengan populasi berdaya beli cukup tinggi.
Selain itu, saat Priangan dibuka untuk investasi partikelir pada tahun 1870-an, Kota Bandung tumbuh sebagai pusat daerah perkebunan. Namun sebelumnya pada tahun 1864, Kota Bandung menjadi ibukota Keresidenan Priangan berbarengan dengan kedatangan aparat pemerintahan yang menjadi pendorong perkembangannya.
Disana, Pecinan dibangun di sekitar Pasar Baru pada tahun 1884. Selanjutnya pada tahun 1889, pecinan itu masih ditempati kurang dari seribu jiwa. Namun pada saat pergantian abad ke-19, pecinan itu sudah didiami sekitar 3000-an jiwa.
Sementara itu di pecinan Sukabumi pada masa itu barisan pohon yang dipangkas menjadi pembatas jalan yang alami dan dibelakangnya pun dibangun ruko-ruko Tionghoa secara berjejeran. Setelah Sukabumi didirikan sebagai pusat perkebunan Belanda pada awal abad ke-19, sebuah pecinan pun lahir di sekitar Pasar Pelita.
Kemudian di sepanjang jalan itu disebut Plabuan dikarenakan jalannya menuju ke Pelabuhan Ratu yang letaknya 60 kilometer ke arah barat daya. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1905, pendudukan Sukabumi sudah berjumlah 12.100 dengan diantaranya 570 orang Eropa dan 1.450 orang Tionghoa.
Diketahui juga bahwa saat itu Sukabumi terkenal dengan banyaknya Pohon Damar di sepanjang jalanan yang kono merupakan sisa dari hutan damar yang pernah menutup Gunung Parang atau anak Gunung Gedeh dimana Kota Sukabumi dibangun.
Di Jakarta, terdapat sebuah Pecenongan yang merupakan sebuah permukiman warga Tionghoa yang sejak dahulu terkenal akan wisata kulinernya. Nama Pecenongan sendiri konon katanya berasal dari kata Betawi yakni Cenong, semacam lampu gantung dengan bahan bakar minyak.
Pada masa itu, Cenong digunakan untuk penerangan di malam hari saat belum ada listrik. Pada pertengahan abad ke-19, dijalan mulai dibangun warung makan dan industri fesyen.
Tercatat sejak tahun 1767, keamanan di Malang pada masa itu dijaga benteng VOC. Selain itu juga pada awal abad ke-19, Malang mulai berkembang sebagai pusat perkebunan kopi.
Bahkan berdasarkan keterangan saksi mata, pada awal abad ke-19 itu juga sudah dibangun jaringan jalan yang bagus dan penduduknya pun sejahtera yang kelak menarik pedagang Tionghoa. Sebuah kelenteng juga sudah dibangun disana sekitar tahun 1825 dan seperti biasanya Kampung Pecinan dibangun disekitar pasar.*
Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini