perkampungan tradisional

Sejarah Perkampungan Warga Tradisional di Bumi Nusantara

Posted on

Pada zaman dahulu, kampung merupakan lingkungan permukiman yang terbatas dengan sekelompok rumah dan biasanya dihuni oleh orang berpenghasilan rendah.

Wilayah kampung juga biasanya dikelilingi perbatasan yang jelas dan dapat dimasuki melalui gapura kampung yang dijaga. Selain itu, dalam bahasa Jawa, Sunda dan Melayu, kata Kampong bisa diartikan sebagai pekarangan yang dipagari atau daerah permukiman yang dipimpin oleh satu kepala.

Olivier Johannes Raap dalam bukunya ‘Kota Di Djawa Tempo Doeloe’ menuliskan, kampung-kampung pribumi biasanya jarang terlihat mencolok di sebuah kota dikarenakan tidak mengambil lokasi yang strategis seperti halnya pecinan, kawasan elit hingga bangunan penting yang menjadi titik orientasi semua orang yang lewat.

“Letak kampung biasanya agak tersembunyi, atau dalam praktiknya rakyat jelata tinggal di kampung yang berada di belakang barisa bangunan yang di sepanjang jalanan utama pusat kota, di tepi sungai hingga diantara permukiman lain atau di pinggiran kota,” tulisnya.

Olivier menambahkan, secara tradisional, sebuah kampung merupakan bagian kota otonom yang diperintah oleh seorang kepala yang dipilih oleh pemilik rumah dan halaman. Oleh karena itulah, mulai dari jalanan, gang-gang, jembatan dan lain sebagainya dirawat hingga keamanannya dijaga penduduk setempat secara gotong royong.

“Seiring berjalannya waktu, akibat adanya urbanisasi, membuat banyak pendatang dari luar yang menetap di kampung di kota dan integrasi mereka tidak berjalan lancar. Karena mereka juga tidak diberi status dan hak kampung sebagai penduduk aslinya,” tambahnya.

Sekitar tahun 1930-an, semua kota otonomi kampung akhirnya dibubarkan dan wilayah kampung pun langsung jatuh dibawah pemerintah kota yang kemudian banyak diadakan program perbaikan kampung.

Biasanya di kampung juga terdapat sebuah rumah tradisional yang merupakan rumah dengan bentuk dan cara pembuatannya yang diwariskan secara turun temurun. Selain itu, Jawa merupakan satu-satunya pulau di Nusantara yang dimana rumah biasanya dibangun langsung di atas tanah tanpa penutup lantai.

Diketahui gaya pembangunan tersebut dibawa oleh pendatang dari India. Selain itu, pada umumnya kelompok tata ruang pada sebuah rumah tinggal itu berurutan dari depan hingga belakang dan terdiri dari tiga petak ruang. Beberapa jenis rumah kampung tradisional juga bisa dibedakan dari bentuk dan atapnya.

Setidaknya terdapat tiga model utama yang meliputi rumah model kampung biasa, rumah model limasan dan rumah model joglo. Sementara itu, di negeri yang rentan dengan bencana gempa bumi, rumah pribumi berbahan ringan ternyata memiliki segi positif jika dibandingkan dengan gedung mewah ala Eropa yang terbuat dari batu bata.

Contohnya seperti rumah tradisional Jawa yang jika terkena gempa bumi hanya mengalami guncangan dan tidak roboh. Sedangkan gedung berbahan batu bata, selain mengalami guncangan bisa juga menjadi retak bahkan sampai ambruk. Meskipun begitu, sisi lain dari rumah tradisional adalah sangat tidak tahan api.

Kini, jumlah dari rumah tradisional itu pun semakin berkurang dan sekarang penduduk Pulau Jawa cenderung lebih suka membangun rumah dengan tembok saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *