Koropak.co.id, Jakarta – Bagi sebagian orang yang ingin tampil modis namun dengan budget minimalis, thrift shop pun menjadi jalan paling realistis yang mereka pilih.
Secara bahasa, kata “thrift” sendiri dapat diartikan sebagai penghematan, dan istilah “thrift” yang dimaksud dalam konteks ini adalah barang bekas yang masih layak pakai serta harganya yang jauh lebih murah dibandingkan harga barunya.
Diketahui, untuk barang bekas yang dimaksud itu bisa berupa pakaian, sepatu, barang elektronik, atau benda-benda antik lainnya. Seiring berjalannya waktu, kini tidak hanya barang bekas saja yang dijajakan, namun produk sisa yang tidak lolos standar industri atau tidak laku dalam jangka waktu lama pun diimpor dan dijual oleh pelapak thrift shop.
Disebutkan bahwa sejarah kemunculan thrift shop ini terjadi pada abad ke-18 atau tepatnya pada era revolusi industri pertama (1760-1840) di Eropa dan Gelombang imigrasi di Amerika. Terhitung sejak revolusi 1.0 itulah, perjalanan sejarah thrift shop pun melalui beberapa babak.
Pada akhir abad ke-19, pada masa itu mulai diperkenalkan mass-production of clothing atau produksi pakaian secara massal, yang di mana menggeser cara pandang masyarakat tentang dunia fashion saat itu.
Dikarenakan melimpahnya hasil produksi, membuat harga pakaian kala itu sangat murah hingga melahirkan anggapan bahwa pakaian yang dijual tersebut adalah barang yang sekali pakai lalu dibuang (disposable).
Sejarawan Le Zotte dalam karyanya “From Goodwill to Grunge: A History of Secondhand Styles and Alternative Economies” menyebutkan bahwa ketika penduduk kota semakin bertumbuh, dan di sisi lain lahan tempat tinggalnya menjadi terbatas. Sehingga membuang barang-barang seperti pakaian pun dijadikan sebagai jalan pintas.
Pada masa itu juga, fenomena menumpuknya pakaian-pakaian yang dibuang ini ditangkap oleh komunitas keagamaan sebagai ide bisnis yang dapat menghasilkan uang. Sejak saat itulah bermunculan nama-nama seperti Salvation Army pada 1897-an, lalu 5 tahun berikutnya disusul Goodwill pada 1902-an.
Kedua Non Governmental Organization (NGO) tersebut pun mencoba untuk mengumpulkan pakaian bekas dari para warga, dan sebagai imbalannya mereka akan mendapatkan makanan dan penginapan (shelter).
Akan tetapi, di satu sisi, organisasi amal serupa di Inggris yaitu Wolverhampton Society for the Blind, dinilai terlebih dulu muncul hingga dianggap sebagai pelopor pengumpulan barang bekas.
Sementara itu, ketika Great Depression atau krisis melanda Amerika pada 1920-an, banyak orang yang harus kehilangan pekerjaannya. Secara tidak langsung, tentu saja hal tersebut berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat, termasuk dalam hal membeli pakaian baru.
Baca: 82 Tahun Lalu, Serial Kartun Woody Woodpecker Mulai Ditayangkan
Oleh karena itulah, berburu pakaian bekas di thrift shop pun dijadikan sebagai alternatifnya. Sedangkan bagi orang yang berkecukupan, thrift shop dijadikan ladang untuk berdonasi.
Selain itu, Perang Dunia I dan II juga dinilai berkontribusi terhadap penggunaan pakaian bekas, karena bahan baku untuk pakaian baru saat itu mengalami kelangkaan. Kemudian meningkatnya permintaan akan pakaian bekas juga akhirnya mengubah pakem thrift shop dari “tempat donasi” menjadi toko serba ada atau departement store.
Tercatat, salah satu thrift shop yang mengalami pertumbuhan signifikan adalah Goodwill, hingga bertransformasi menjadi thrift shop terbesar di Amerika Serikat kala itu. Bahkan pada 1935-an, Goodwill sendiri sudah memiliki hampir 100 toko di seluruh Amerika Serikat.
Tak hanya itu saja, Goodwill juga memiliki armada truk yang siap untuk mengumpulkan sekaligus menyuplai pakaian dan peralatan rumah tangga ke lebih 1.000 rumah tangga Amerika Serikat. Memasuki era 2000-an, fenomena mengenakan pakaian bekas sedikit mengalami pergeseran.
Pasalnya, hal tersebut sudah tidak lagi dijadikan sebagai cerminan ketidakmampuan seseorang dalam membeli pakaian baru, akan tetapi telah menjadi gaya hidup. Diketahui, faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan thrift shop, adalah internet dan e-commerce.
eBay dan Craigslist pun menjadi pelopor penjualan pakaian bekas secara online atau e-commerce, yang sudah memulai debutnya secara global pada 1995-an. Seiring berkembangnya zaman, kini thrift shop telah menjadi kekuatan yang dapat menggerakkan ekonomi global.
Berdasarkan hasil sebuah penelitian, mengungkapkan bahwa sebanyak 17 persen konsumen Amerika Serikat, membeli pakaian bekas setiap tahunnya. Sementara berdasarkan data IBISWorld, pada 2021, jumlah dana yang berputar dalam transaksi pakaian bekas bernilai hingga 14.4 billion Dollar dan penjualan secara onlinenya mencapai 33 billion Dollar.
Lantas, kapan tren membeli pakaian bekas ini masuk dan dimulai di Indonesia?
Berdasarkan sejarahnya, diketahui geliat membeli pakaian bekas di Indonesia ini diperkirakan sudah muncul sejak dekade 1980-an.
Sementara secara geografis, pada awalnya usaha thrift shop sendiri berkembang di wilayah pesisir laut Indonesia yang berbatasan dengan negara tetangga, seperti Sumatra, Batam, Kalimantan, hingga Sulawesi yang menjadi pintu masuk impor pakaian bekas.
Seiring berjalannya waktu, bisnis pakaian impor bekas tersebut mulai berekspansi ke pulau Jawa. Namun konon katanya, demi mempertahankan gengsi, maka kebanyakan orang menjual barang tersebut dengan embel-embel “barang impor” dibandingkan melabeli dagangan mereka dengan “barang bekas”.