perlawanan sultan agung

Kisah Pertempuran Besar Sultan Agung Melawan VOC di Batavia

Posted on

Pada awal 1620-an, Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung berada di puncak kejayaannya. Pada tahun 1625, hampir seluruh pulau Jawa telah dikuasai oleh Mataram, meninggalkan hanya Batavia (sekarang Jakarta) dan Banten yang masih di luar kekuasaan Sultan Agung.

Dalam upaya menaklukkan Batavia, Sultan Agung mengirimkan Kyai Rangga, Bupati Tegal, sebagai duta pada April 1628 untuk menawarkan perjanjian damai kepada Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), penguasa Batavia.

Namun, tawaran tersebut ditolak oleh VOC. Penolakan tersebut memicu kemarahan Sultan Agung, yang kemudian memutuskan untuk memulai perang melawan VOC.

Sultan Agung mengirimkan pasukan pertama Mataram yang dipimpin oleh Bupati Kendal, Tumenggung Bahureksa, menuju Batavia. Pada 26 Agustus 1628, 1.000 prajurit Mataram tiba dan mendirikan barisan di depan Batavia, siap untuk menyerang.

Serangan dimulai pada 27 Agustus 1628 dengan penyerangan terhadap benteng kecil “Hollandia” di sebelah tenggara kota Batavia, tempat pertahanan Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen.

Pertempuran sengit berlangsung, dengan sekompi berkekuatan 120 prajurit di bawah pimpinan Letnan Jacob van der Plaetten berhasil menahan serangan pasukan Mataram.

Selama pertempuran, beberapa kapal Belanda datang dari Banten dan Pulau Onrust, mendaratkan 200 prajurit tambahan. Dengan Kasteel dipertahankan oleh 530 prajurit, pertahanan VOC semakin kuat.

Pada bulan Oktober 1628, pasukan kedua Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Mandurareja, cucu Ki Juru Martani, tiba di Batavia dengan total sekitar 10.000 prajurit. Namun, meskipun jumlah pasukan yang besar, Mataram mengalami kekalahan dalam pertempuran ini.

Kekalahan tersebut seringkali diatributkan pada kekurangan perbekalan dan bahan makanan, serta faktor kelelahan yang disebabkan oleh perjalanan panjang dari pusat Mataram ke Batavia yang memakan waktu antara satu hingga dua bulan dengan berjalan kaki.

Peristiwa ini mencerminkan kompleksitas konflik antara kekuatan lokal dan kekuatan kolonial Eropa pada masa itu, serta menunjukkan betapa sulitnya mempertahankan kekuasaan dalam menghadapi kekuatan asing yang telah mapan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *