Ini daerah yang disebut Serambi Mekah. Punya kekayaan kuliner yang beranekaragam, khas, lezat, menggugah selera, dan siap menggoyang lidah.
Sejumlah tempat di daerah ini memang tak diragukan lagi kualitas kulinernya. Selalu unik dan mencuri perhatian. Salah satunya adalah “Memek”, kuliner khas Pulau Simeuleu, Provinsi Aceh.
Eits, jangan salah sangka dan berpikiran yang aneh-aneh. Kendati nama kuliner yang tampilannya mirip bubur ini memiliki konotasi negatif dalam bahasa prokem (slang) Indonesia, akan tetapi sebenarnya nama memeknya sendiri berasal dari kata dalam bahasa Devayan yakni “Mamemek”.
Kendati punya nama nyeleneh, tapi masyarakat Simeuleu patut berbangga. Tentu saja, kudapan yang terbuat dari campuran pisang, beras ketan, santan, dan gula itu ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak benda (WBTb) Indonesia pada 2019.
Penetapan memek sebagai Warisan Budaya Tak benda (WBTb) tersebut tentunya menjadi sebuah perlindungan dari kepunahan, sekaligus klaim budaya dari negara lain. Selain sudah ditetapkan menjadi WBTb Indonesia, memek juga menjadi salah satu kuliner khas Simeulue yang ternyata sudah eksis sejak zaman kerajaan.
Bagi masyarakat asli Simeulue, sebenarnya nama memek sendiri memiliki arti mengunyah atau menggigit. Berdasarkan sejarahnya, konon pada zaman dahulu, nenek moyang Simeulue sering mengunyah beras ketan yang dicampur pisang, sehingga muncullah istilah “mamemek”.
Perlahan, makanan yang dikonsumsi nenek moyang tersebut akhirnya disebut dengan memek. Meskipun bagi kebanyakan orang, nama memek sendiri memang cenderung berkonotasi negatif. Akan tetapi nama memek tersebut tidak boleh diganti, dikarenakan bagi masyarakat Simeulue, kuliner tersebut sudah menjadi warisan leluhur.
Di sisi lain, sejarah makanan ini awalnya diciptakan pada masa pendudukan Jepang. Pada masa itu, warga berupaya untukĀ menyembunyikan beras mereka agar tidak disita oleh pasukan Jepang. Mereka juga memutuskan untuk tidak memasaknya dikarenakan asap hasil pembakaran bisa terlihat oleh tentara Jepang.
Beras yang disembunyikan itu pun dikunyah mentah-mentah dengan buah pisang, dan kunyahan tersebut menghasilkan suara gemeretak yang disebut mamemek. Setelah Jepang pergi dari Simeulue, nama mamemek berubah menjadi memek dikarenakan cara pengolahannya yang telah diganti.
Simak cara membuatnya. Mulanya beras ketan akan disangrai dan pisang ditumbuk kasar hingga membuat teksturnya masih terasa. Pisang itu pun kemudian dicampur dan dimasak dengan beras ketan yang sudah disangrai, ditambah santan, dan gula sekitar satu jam.
Setelah matang, memek akan berbentuk seperti bubur. Meskipun begitu, saat disantap, rasa pisang dan beras ketan akan lebih terasa.
Diketahui, pemilihan jenis pisang sendiri ternyata turut andil dalam cita rasa memek. Biasanya, beberapa orang di Simeuleu menggunakan pisang kepok atau pisang raja sebagai bahan utamanya.
Bagi masyarakat Simeuleu, memek juga menjadi kuliner yang sangat spesial karena wajib ada saat perayaan tertentu. Memek tersebut menjadi jamuan wajib ketika ada tamu pemerintahan atau orang penting yang datang ke Simeulue.
Selain untuk perayaan, masyarakat lokal juga selalu menyediakan bubur ini saat bulan Ramadan tiba. Memek pun menjadi takjil favorit yang tak boleh ketinggalan saat berbuka puasa. Bubur ini biasanya dijual seharga Rp5.000 dalam gelas plastik, dan dihidangkan selagi hangat.