Sebuah bangunan peninggalan bersejarah di Indonesia harus kembali hilang akibat kurangnya menghargai sejarah. Seperti diketahui bahwa beberapa hari terakhir ini publik diramaikan dengan peristiwa yang terjadi di Kota Padang, Sumatra Barat (Sumbar).
Dimana rumah yang dulunya pernah menjadi tempah singgah Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno atau Bung Karno dibongkar hingga rata dengan tanah.
Dilansir dari laman Kompas, sebelumnya rumah singgah Bung Karno itu sempat dijadikan sebuah kafe bernama Tiji Cafe. Akan tetapi kafe tersebut kemudian ditutup, oleh karena itulah bangunan tersebut diratakan dengan tanah oleh ekskavator.
Warga setempat, Suryadi mengatakan bahwa kabarnya lahan bekas rumah ini akan dibangun gedung tiga tingkat. Selain itu menurutnya, rumah tersebut juga pernah dimiliki oleh Mantan Wali Kota Padang, Fauzi Bahar.
“Akan tetapi selanjutnya dia menjual rumah itu kepada seseorang. Lantas orang tersebut pun menjual kembali kepada pengusaha air minum kemasan di Kota Padang,” katanya.
Di sisi lain, rumah itu sendiri sudah ditetapkan menjadi cagar budaya di Kota Padang dengan Nomor Inventaris 33/BCBTB/A/01/2007. Hal tersebut menjadikan Rumah Ema Idham yang pernah digunakan sebagai tempat singgah Bung Karno itu seharusnya tidak bisa dibongkar.
Terlebih lagi hal ini juga diperkuat dengan pernyataan dari Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Provinsi Sumbar, Undri yang mengatakan bahwa Rumah Ema Idham telah ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Padang Nomor 3 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya dan Kawasan Bersejarah di Kotamadya Padang.
“Cagar budaya itu merupakan tugas dan wewenang Pemerintah Kota (Pemkot) Padang, sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 95 dan Pasal 96 Undang-Undang Nomor II Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,” jelas Undri sebagaimana dilansir dari laman GNFI.
Pembongkaran rumah singgah Bung Karno itu pun membuat berbagai pihak geram, salah satunya Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim yang juga mengaku geram setelah mendengar pembongkaran rumah singgah Bung Karno. Bahkan dirinya menegaskan akan turun tangan untuk menangani permasalahan ini.
“Pembongkaran cagar budaya itu telah melawan hukum. Sesuai dengan pasal 105 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010, setiap orang yang dengan sengaja merusak cagar budaya, dapat dipidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 15 tahun. Dalam UU Tahun 2010 tentang Cagar Budaya itu juga jelas mengamanatkan bahwa pemilik atau pihak yang menguasai sebuah bangunan cagar budaya, bertanggung jawab akan kelestariannya,” tegas Nadiem.
Nadiem juga menyatakan, Kemendikbudristek telah dan akan terus berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat untuk mencari solusi terbaik. Terlebih lagi bangunan tersebut menyimpan banyak sejarah bagi Indonesia.
“Bangunan itu memiliki nilai historis yang tinggi bagi bangsa ini. Oleh karena itulah, kami mendorong semua pihak untuk melestarikan bangunan cagar budaya dan menjaga memori kolektif sejarah bangsa,” ujarnya.
Sejarawan Universitas Andalas (Unand) Sumbar, Gusti Asnan juga menyayangkan bangunan yang menjadi bukti sejarah pernah disinggahi Presiden Indonesia itu dihancurkan dan telah rata dengan tanah. Ia menilai, meskipun nantinya rumah ini akan dibangun kembali setelah pemberitaannya heboh, tentu nilainya tidak akan sama lagi.
“Kami berharap ke depannya Pemkot Padang dan pihak terkait bisa menata dan lebih memperhatikan benda-benda cagar budaya agar tidak terjadi kembali kejadian serupa. Sebaiknya benda-benda cagar budaya tersebut dikunjungi dan dibuatkan laporannya mengenai kondisi terbarunya, setidaknya dalam tiga bulan sekali,” tutur Gusti.
Sementara itu, menyikapi hancurnya bangunan cagar budaya tersebut, Pemkot Padang justru memilih jalur damai dengan pemilik bangunan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Padang, Yopi Krislova mengungkapkan bahwa rumah tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya Kota Padang pada 1998 silam, namun saat ini terjadi peralihan pemilik baru.
“Sebelum gempa yang terjadi pada 2009 silam, kami sudah membuat palang penanda bawah rumah tersebut merupakan cagar budaya yang pernah ditempati Bung Karno. Namun setelah gempa, ada beberapa palang penanda cagar budaya yang hancur dan belum ditata kembali,” ungkap Yopi.
Seiring berjalannya waktu, kata Yopi, ternyata ada bangunan yang dihancurkan dan itu merupakan rumah singgah Bung Karno di Kota Padang pada masa pemerintahan Jepang. Setelah melakukan koordinasi, pemilik lahan yang bersangkutan mengaku tidak mengetahui bahwa bangunan tersebut adalah cagar budaya Kota Padang.
“Pemkot padang telah menemui pemiliknya dan mereka bersedia untuk membangun kembali rumah itu sesuai dengan bentuk bangunan yang lama dan akan dibuatkan cerita tentang Bung Karno,” tuturnya.
Sebagai informasi, dilansir dari halaman resmi Pemerintah Kota Padang, rumah singgah Bung Karno itu didirikan pada 1930-an dan sudah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kota Padang dengan Nomor Inventaris 33/BCBTB/A/01/2007.
Rumah tersebut ditempati Bung Karno selama 3 bulan pada 1942. Pada masa itu, pemerintah Belanda takut Bung Karno akan dimanfaatkan oleh Jepang yang akan mendarat di Indonesia.
Oleh karena itulah, Bung Karno akan dibuang oleh pemerintah Belanda dari Bengkulu ke Luar Negeri. Namun sayangnya ketika akan diberangkatkan, kapal yang akan memberangkatkan Bung Karno rusak, hingga pada akhirnya Bung Karno diperintahkan oleh Pemerintah Belanda menuju Kota Padang dengan mengendarai gerobak sapi.
Setelah sampai di Padang, Bung Karno bersama Inggit menginap di rumah Egon Hakim. Setelah itu, Bung Karno pindah ke rumah kawan lamanya asal Manado, Waworuntu. Sedangkan, di rumah Ema Idham, Bung Karno memanfaatkan rumah tersebut untuk menghimpun dan mengkonsolidasikan kekuatan untuk melawan penjajah.